Sunday, November 18, 2012

SE-48/PJ/2012 - Kebijakan Verifikasi

SURAT EDARAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-48/PJ/2012
Tanggal 01 Nopember 2012
KEBIJAKAN PELAKSANAAN VERIFIKASI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

A Umum

Sehubungan dengan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Verifikasi yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), perlu dibuat kebijakan untuk melaksanakan Peraturan Menteri Keuangan tersebut.
 
B. Maksud dan Tujuan

  1. Maksud
    Penyusunan kebijakan ini dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam melaksanakan Verifikasi terhadap Wajib Pajak (WP) dan/atau Pengusaha Kena Pajak (PKP).
  2. Tujuan
    1. Agar KPP memiliki kesamaan pemahaman dalam melaksanakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012.
    2. Agar KPP dapat melaksanakan Verifikasi dengan aturan dan acuan yang jelas sehingga dapat dicapai tujuan Verifikasi secara optimal.
 
C. Ruang Lingkup

Surat Edaran ini merupakan kebijakan pelaksanaan prosedur Verifikasi terhadap WP yang dilakukan oleh Petugas Verifikasi di KPP terkait dengan :

  1. Pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP;
  2. Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP/PKP;
  3. Pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan untuk WP/PKP tertentu berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh DJP;
  4. Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan untuk WP/PKP tertentu berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh DJP;dan
  5. Penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK.03/2012.
 
D. Dasar Hukum

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268); dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Verifikasi.
 
E. Materi

  1. Umum
    Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang antara lain mengatur mengenai Verifikasi maka ditegaskan bahwa Verifikasi merupakan salah satu prosedur yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak 1 Januari 2012 dalam hal-hal tertentu. Kegiatan Verifikasi tersebut dapat dilakukan baik untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak 2008 maupun Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya. Kegiatan Verifikasi dilakukan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Verifikasi serta memperhatikan kebijakan umum sebagai berikut :
    1. Kegiatan Verifikasi hanya dapat dilakukan untuk hal-hal tertentu sesuai dengan ruang lingkup sebagaimana diuraikan dalam huruf C Surat Edaran ini.
    2. Verifikasi harus dilakukan oleh Petugas Verifikasi yang ditugaskan oleh Kepala KPP berdasarkan surat tugas dengan menggunakan contoh format surat tugas sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran ini.
    3. Petugas Verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi :
      1) Account Representative;
      2) Pelaksana KPP;
      3) Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP);
      4) Pelaksana KP2KP,
      yang ditunjuk oleh Kepala KPP.
    4. Penunjukan Petugas Verifikasi oleh Kepala KPP dilakukan dengan mempertimbangkan kompetensi dan beban kerja pegawai yang ditunjuk.
    5. Dalam hal Verifikasi dilakukan dalam rangka pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP yang disampaikan ke KP2KP, Verifikasi harus dilakukan oleh Kepala KP2KP dan/atau Pelaksana KP2KP dengan surat tugas yang ditandatangani oleh Kepala KP2KP atas nama Direktur Jenderal Pajak.
    6. Dalam hal Verifikasi dilakukan dalam rangka pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP yang disampaikan ke KPP, dengan mempertimbangkan tempat kedudukan/kegiatan usaha WP, Verifikasi dapat dilakukan oleh KP2KP.
    7. Jangka waktu penyelesaian Verifikasi adalah sebagai berikut :
      1)
      Verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP diselesaikan dengan memperhatikan jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan NPWP serta Pengukuhan dan Pencabutan PKP.
      2)
      Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP/PKP diselesaikan dengan memperhatikan jangka waktu 6 (enam) bulan atau 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang KUP.
      3)
      Verifikasi dalam rangka Pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara Jabatan untuk WP/PKP tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh DJP diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dihitung sejak tanggal surat tugas diterbitkan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Verifikasi ditandatangani.
      4)
      Verifikasi dalam rangka Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan untuk WP/PKP tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh DJP diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dihitung sejak tanggal surat tugas diterbitkan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Verifikasi ditandatangani.
      5)
      Verifikasi dalam rangka Penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dihitung sejak tanggal surat tugas diterbitkan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Verifikasi ditandatangani.
  2. Usulan dan Penugasan Verifikasi
    a. Verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP.

    1)
    Berdasarkan permohonan pengukuhan PKP yang diajukan ke KPP, Kepala Seksi Pelayanan mengusulkan Petugas Verifikasi dan membuat konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.

    2)
    Kepala Seksi Pelayanan menyampaikan konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP kepada Kepala KPP untuk mendapatkan persetujuan.

    3)
    Kepala KPP meneliti dan memberikan persetujuan atas konsep surat tugas Verifikasi dengan memperhatikan kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam huruf E angka 1 sub huruf c, sub huruf d, dan sub huruf f Surat Edaran ini.

    4)
    Dalam hal permohonan pengukuhan PKP diajukan melalui KP2KP, Kepala KP2KP dapat menunjuk pelaksana KP2KP dan/atau dirinya sendiri untuk menjadi Petugas Verifikasi. Selanjutnya, Kepala KP2KP menandatangani surat tugas Verifikasi atas nama Direktur Jenderal Pajak dengan tembusan kepada Kepala KPP.
    b. Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP/PKP.

    1)
    Berdasarkan permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP yang diajukan ke KPP, Kepala Seksi Pelayanan meneliti dan menentukan apakah penghapusan dan/atau pencabutan dapat dilakukan melalui Verifikasi atau harus melalui pemeriksaan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012. Dalam hal WP mengajukan permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP melalui KP2KP, permohonan tersebut diteruskan ke KPP.

    2)
    Terhadap permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP yang dapat ditindaklanjuti melalui Verifikasi, Kepala Seksi Pelayanan mengusulkan Petugas Verifikasi dan membuat konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP.

    3)
    Kepala Seksi Pelayanan menyampaikan konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan WP kepada Kepala KPP untuk mendapatkan persetujuan.

    4)
    Kepala KPP meneliti dan memberikan persetujuan atas konsep surat tugas Verifikasi dengan memperhatikan kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam huruf E angka 1 sub huruf c, dan sub huruf d Surat Edaran ini.

    5)
    Terhadap permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP yang tidak dapat ditindaklanjuti melalui Verifikasi, Kepala Seksi Pelayanan menyampaikan permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP tersebut kepada Kepala Seksi Pemeriksaan seseuai dengan ketentuan di bidang pemeriksaan.
    c.
    Verifikasi dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan untuk WP/PKP tertentu berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh DJP.

    1)
    Berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh KPP, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait meneliti dan menentukan apakah pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan dapat dilakukan melalui Verifikasi atau harus melalui pemeriksaan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012.

    2)
    Dalam hal pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan dapat dilakukan melalui Verifikasi, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi mengusulkan Petugas Verifikasi dan membuat konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP.

    3)
    Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menyampaikan konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan kepada Kepala KPP untuk mendapatkan persetujuan.

    4)
    Kepala KPP meneliti dan memberikan persetujuan atas konsep surat tugas Verifikasi dengan memperhatikan kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam huruf E angka 1 sub huruf c dan sub huruf d Surat Edaran ini.

    5)
    Terhadap pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan yang tidak dapat dilakukan melalui Verifikasi, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menyampaikan data dan informasi perpajakan yang diperoleh kepada Kepala Seksi Pemeriksaan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan di bidang Pemeriksaan.
    d.
    Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan untuk WP/PKP tertentu berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh DJP.

    1)
    Berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh KPP, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait meneliti dan menentukan apakah Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP secara jabatan dapat dilakukan melalui Verifikasi atau harus melalui pemeriksaan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 10 PMK Nomor 146/PMK.03/2012.

    2)
    Dalam hal penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan dapat dilakukan melalui Verifikasi, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi mengusulkan Petugas Verifikasi dan membuat konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP.

    3)
    Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menyampaikan konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan kepada Kepala KPP untuk mendapatkan persetujuan.

    4)
    Kepala KPP meneliti dan memberikan persetujuan atas konsep surat tugas Verifikasi dengan memperhatikan kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam huruf E angka 1 sub huruf c dan sub huruf d Surat Edaran ini.

    5)
    Terhadap penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan yang tidak dapat dilakukan melalui Verifikasi, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menyampaikan data dan informasi perpajakan yang diperoleh kepada Kepala Seksi Pemeriksaan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan di bidang Pemeriksaan.
    e.
    Verifikasi dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 yang terdiri dari :

    1)
    Verifikasi dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK.03/2012.


    a)
    Berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh KPP, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menganalisis dan mengevaluasi data dan informasi perpajakan tersebut.


    b)
    Hasil analisis dan evaluasi data dan informasi perpajakan sebagaimana dimaksud pada huruf a) disampaikan kepada Kepala KPP untuk dilakukan pembahasan bersama antara Kepala KPP dengan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi dan Kepala Seksi Pemeriksaan.


    c)
    Berdasarkan pertimbangan Kepala KPP dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b), Kepala KPP menentukan apakah data dan informasi perpajakan tersebut ditindaklanjuti dengan Verifikasi atau Pemeriksaan.


    d)
    Dalam hal Kepala KPP memutuskan bahwa data dan informasi perpajakan tersebut ditindaklanjuti dengan Verifikasi, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi mengusulkan Petugas Verifikasi dan membuat konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Dalam hal Verifikasi dilakukan terkait dengan keterangan lain dari kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C Undang-Undang PPN, salah satu petugas Verifikasi dapat berasal dari Seksi Ekstensifikasi.


    e)
    Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menyampaikan konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar kepada Kepala KPP untuk mendapatkan persetujuan.


    f)
    Kepala KPP meneliti dan memberikan persetujuan atas konsep surat tugas Verifikasi dengan memperhatikan kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam huruf E angka 1 sub huruf c dan sub huruf d Surat Edaran ini.


    g)
    Dalam hal Kepala KPP memutuskan bahwa data dan informasi perpajakan tersebut ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, hasil analisis data dan informasi perpajakan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan di bidang Pemeriksaan.

    2)
    Verifikasi dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012.


    a)
    Berdasarkan data baru berupa hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang atau berdasarkan Putusan Pengadilan yang memuat data baru berupa faktur pajak yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menganalisis dan mengevaluasi hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak atau Putusan Pengadilan tersebut.


    b)
    Hasil analisis dan evaluasi atas hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak atau Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada huruf a) disampaikan kepada Kepala KPP untuk dilakukan pembahasan bersama antara Kepala KPP dengan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi dan Kepala Seksi Pemeriksaan.


    c)
    Berdasarkan pertimbangan Kepala KPP dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b), Kepala KPP menentukan apakah hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak atau Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada huruf a) ditindaklanjuti dengan Verifikasi, Pemeriksaan, atau Pemeriksaan Ulang.


    d)
    Dalam hal Kepala KPP memutuskan bahwa hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak atau Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada huruf a) ditindaklanjuti dengan Verifikasi, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi mengusulkan Petugas Verifikasi dan membuat konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.


    e)
    Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menyampaikan konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan kepada Kepala KPP untuk mendapatkan persetujuan.


    f)
    Kepala KPP meneliti dan memberikan persetujuan atas konsep surat tugas Verifikasi dengan memperhatikan kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam huruf E angka 1 sub huruf c dan sub huruf d Surat Edaran ini.


    g)
    Dalam hal Kepala KPP memutuskan bahwa hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak atau Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada huruf a) ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan atau Pemeriksaan Ulang, hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak atau Putusan Pengadilan tersebut ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan di bidang Pemeriksaan.

    3)
    Verifikasi dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf a serta Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012.


    a)
    Berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atau berdasarkan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi meneliti keterangan tertulis atau permohonan pengembalian tersebut.


    b)
    Berdasarkan keterangan tertulis atau permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada huruf a), Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi mengusulkan Petugas Verifikasi dan membuat konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak.


    c)
    Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi menyampaikan konsep surat tugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak kepada Kepala KPP untuk mendapatkan persetujuan.


    d)
    Kepala KPP meneliti dan memberikan persetujuan atas konsep surat tugas Verifikasi dengan memperhatikan kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam huruf E angka 1 sub huruf c dan sub huruf d Surat Edaran ini.
  3. Pelaksanaan Verifikasi
    1) Dalam pelaksanaan Verifikasi, Petugas Verifikasi harus memperhatikan juga ketentuan sebagai berikut:

    a)
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;

    b)
    Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;

    c)
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran, Pemberian, dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

    d)
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak;

    e) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Verifikasi; dan

    f) Peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang terkait.
    2)
    Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi atau Kepala Seksi Pelayanan sesuai dengan kewenangannya, melakukan supervisi atas pelaksanaan Verifikasi dan penelaahan konsep Laporan Hasil Verifikasi.
    3)
    Hasil Verifikasi harus dilaporkan oleh petugas Verifikasi kepada Kepala KPP melalui Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi atau Kepala Seksi Pelayanan sesuai dengan kewenangannya, dengan menggunakan Laporan Hasil Verifikasi .
    4)
    Dalam hal Verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP berdasarkan permohonan Wajib Pajak dilaksanakan oleh KP2KP, pelaksanaan Verifikasi tidak dilakukan supervisi oleh Kepala Seksi Pelayanan, namun Laporan Hasil Verifikasi disampaikan kepada Kepala KPP.
  4. Laporan Hasil Verifikasi
    1)
    Laporan Hasil Verifikasi yang dibuat Petugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan/menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dalam rangka mengukuhkan/mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai :

    1. penugasan Verifikasi;
    2. identitas Wajib Pajak;
    3. tujuan Verifikasi;
    4. uraian hasil Verifikasi;
    5. simpulan dan usul petugas Verifikasi; dan
    6. pengungkapan infomasi lain yang terkait.
    2)
    Laporan Hasil Verifikasi yang dibuat Petugas Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai :

    1. penugasan Verifikasi;
    2. identitas Wajib Pajak;
    3. pemenuhan kewajiban perpajakan;
    4. data/informasi yang tersedia;
    5. materi yang diverifikasi;
    6. uraian hasil Verifikasi;
    7. pengujian yang telah dilakukan;
    8. penghitungan pajak terutang; dan
    9. simpulan dan usul petugas Verifikasi.
    3)
    Bentuk dan isi Laporan Hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan butir 2 dibuat dengan menggunakan contoh format pada Lampiran II dan Lampiran III dan dapat disesuaikan dengan tujuan Verifikasi.
Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Nopember 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP. 195411111981121001

PER-21/PJ/2012 - Tatacara Permohonan & Penetapan Masa Manfaat Harta Berwujud utk Usaha tertentu

PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-21/PJ/2012
Tanggal 24 Oktober 2012
TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD YANG DIMILIKI DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2B Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Permohonan dan Penetapan Masa Manfaat yang Sesungguhnya atas Harta Berwujud Yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu;
Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PERMOHONAN DAN PENETAPAN MASA MANFAAT YANG SESUNGGUHNYA ATAS HARTA BERWUJUD YANG DIMILIKI DAN DIGUNAKAN DALAM BIDANG USAHA TERTENTU.
Pasal 1
Untuk keperluan penyusutan, harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.03/2008 tentang Penyusutan atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud yang Dimiliki dan Digunakan dalam Bidang Usaha Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.011/2012 untuk :
  1. bidang usaha kehutanan, dikelompokkan dalam Kelompok 4;
  2. bidang usaha perkebunan tanaman keras, dikelompokkan dalam Kelompok 4;
  3. bidang usaha peternakan, dikelompokkan dalam Kelompok 2;
sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pasal 2
(1)
Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya dari suatu harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok harta berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis untuk penetapan kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya.
(2)
Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3)
Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan sebelum dimulainya penyusutan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan:

  1. penjelasan terperinci mengenai harta berwujud;
  2. kajian mengenai perkiraan umur harta berwujud/masa manfaat ekonomis; dan
  3. surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa Wajib Pajak.
Pasal 3
(1)
Atas permohonan tertulis Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) melakukan penelitian.
(2)
Dalam hal permohonan Wajib Pajak belum lengkap, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan surat permintaan kelengkapan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3)
Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kelengkapan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
(4)
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atas nama Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan tertulis dan lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) diterima secara lengkap dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5)
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terlampaui dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) belum memberikan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Oktober 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP. 195411111981121001

Tuesday, November 13, 2012

PER-57/PJ/2009 - PPh 21 Perubahan PER-31 pada Lamp. IV, V

PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-57/PJ/2009
Tanggal 12 Oktober 2009
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi yang merupakan bukan pegawai mendekati jumlah pajak yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
Mengingat:
  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-31/PJ/2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi diubah sebagai berikut :
  1. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :
    Pasal 9
    (1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
    1. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi :
      1. pegawai tetap;
      2. penerima pensiun berkala;
      3. pegawai tidak tetap yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
      4. bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.
    2. jumlah penghasilan yang melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah);
    3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
    4. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana di maksud pada huruf a, b dan huruf c.
    (2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.
  2. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (5) diubah sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :
    Pasal 10
    (1) Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah seluruh jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
    (2) Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut :

    1. bagi pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP);
    2. bagi pegawai tidak tetap, sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP;
    3. bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
    (3) Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:

    1. biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;
    2. iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
    (4) Besarnya penghasilan netto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
    (5) Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:

    1. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
    2. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang
    (6) Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
  3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
    Pasal 16
    (1) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dalam satu tahun kalender dari:

    1. Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf c, bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
    2. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang bersifat berkesinambungan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
    3. jumlah penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
    4. jumlah penghasilan bruto berupa jasa produksi , tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;atau
    5. jumlah penghasilan bruto berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
    (2) Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas :

    1. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto untuk setiap pembayaran imbalan kepada bukan pegawai yang tidak bersifat berkesinambungan;
    2. jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
  4. Bagian Pertama Angka Romawi IV Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, diubah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
  5. Bagian Kedua Angka Romawi V Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi, diubah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Oktober 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 060044911

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lampiran
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-31/PJ/2009

PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
  1. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN BERKALAPenghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
    1. Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21, selain masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja;
    2. Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
      Penghitungan kembali ini dilakukan pada :
      1. Bulan dimana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;
      2. bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender dan bagi penerima pensiun yang menerima uang pensiun sampai akhir tahun kalender.
    I.1. Penghitungan Masa atau Bulanan Selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja :
    1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur
    2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur
    I.1.a Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur
    I.1.a.1 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi Pegawai Tetap :
    1.
    1. Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.
    2. Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Premi Jaminan Kematian (JK) dan Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehataan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai
    3. Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan Penyelenggara Program Jamsostek.
    2.
    1. Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12
    2. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto setahun dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember.
    3. Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun pada huruf a atau b diatas, dikurangi dengan PTKP.
    4. Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c, selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar :
      1)
      jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dibagi dengan 12; atau
      2)
      jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada huruf b.
    3.
    1. Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut :
      1) Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4,
      2) Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26.
    2. Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan dengan cara seperti dalam angka 2 di atas.
    3. PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 26.
    4.
    Jika kepada pegawai disamping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel tersebut adalah sebagai berikut :
    1. rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (dalam hal ini 5 bulan);
    2. hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;
    3. PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;
    4. PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf b.
    5.
    Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang didasarkan masa gaji kurang dari satu bulan juga dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel) seperti tersebut dalam angka 4, maka cara penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam angka 4 dengan memperhatikan ketentuan dalam angka 3.
    I.1.a.2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi Penerima Pensiun Berkala :
    1.
    Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun pertama pensiun adalah sebagai berikut :
    1. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;
    2. penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada huruf a ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
    3. untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan pada huruf b tersebut dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak tersebut;
    4. PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 dalam huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
    5. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
    2.
    Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan untuk tahun kedua dan selanjutnya adalah sebagai berikut :
    1. terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun;
    2. selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara penghitungan untuk pegawai tetap pada butir I.1.a.1 angka 2 huruf a, c, dan d.
    I.1.b Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur bagi Pegawai Tetap
    1.
    Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut :
    1. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
    2. dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
    3. selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
    2.
    Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan yang tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana pada butir 1 dengan memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan atas Penghasilan Teratur pada butir I.1.a.1. angka 2 huruf b, c dan d diatas.
    I.2. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Bulan Desember atau Masa Pajak Tertentu untuk Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja Sebelum Bulan Desember

    1. Pemotong pajak harus melakukan penghitungan kembali besarnya PPh Pasal 21 yang terutang :
      1. Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan yang teratur maupun yang tidak teratur.
      2. PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkuta, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
      3. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan, pemotong pajak dapat memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan pegawai tetap lainnya dalam masa pajak yag sama, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh pemotong pajak untuk masa pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak kepada pegawai tetap yang bekerja. 2.
    2. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a adalah sebagai berikut :
      1. Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.
      2. Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
  2. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA LEPAS
    II.1. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan :
    1. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari :
      1. Upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
      2. Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
      3. Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
    2. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
    3. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang harian telah melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%.
    4. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000,00 dan kurang dari Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
    5. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
    II.2.
    Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan :
    PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto yang yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
  3. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS ATAU DEWAN KOMISARIS YANG TIDAK MERANGKAP SEBAGAI PEGAWAI TETAP, MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA JASA PRODIKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI, BONUS ATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK TERATUR, DAN PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI PEGAWAI YANG MENARIK DANA PENSIUN
    III.1.
    Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Anggota Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris Yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap
    PPh Pasal 21 dihitung dengan menarapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.
    III.2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan Pegawai Yang Menerima Penghasilan Berupa Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus atau Imbalan Lain yang Bersifat Tidak Teratur
    PPh Pasal 21 dihitung dengan cara menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.
    III.3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Peserta Program Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai yang Menarik Dana Pensiun
    PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun kalender.
  4. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI
    IV.1 Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Tenaga Ahli yang melakukan Pekerjaan Bebas
    PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dihitung dengan cara menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan atau terutang dalam 1 (satu) tahun kalender. Dalam hal tenaga ahli tersebut adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
    IV.2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, Selain Tenaga Ahli, atas Imbalan yang Bersifat Berkesinambungan
    IV.2.1 Bagi yang Telah Memiliki NPWP dan Hanya Menerima Penghasilan Dari Pemotong Pajak yang Bersangkutan
    PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak. Besarnya pengasilan kena pajak adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
    IV.2.2 Bagi yang Tidak Memiliki NPWP atau Menerima Penghasilan Dari Selain Pemotong Pajak yang Bersangkutan
    PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.
    IV.3 Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, Selain Tenaga Ahli, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
    PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto.
  5. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI PESERTA KEGIATAN
    PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
  6. PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI.
    1. Dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari jumlah penghasilan bruto.
    2. Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima penghasilan adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia.
BAGIAN KEDUA : CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
I. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI TETAP

I.1. DENGAN GAJI BULANAN
I.1.1 Ahmad Zakaria pada tahun 2009 bekerja pada perusahaan PT Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 2.500.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan
Rp 2.500.000,00
Pengurangan :

1. Biaya Jabatan :
5% x Rp 2.500.000,00
2. Iuran pensiun

Rp 125.000,00
Rp 100.000,00



Rp 225.000,00
Penghasilan neto sebulan
Rp 2.275.000,00



Penghasilan neto setahun adalah

12 x Rp 2.275.000,00
Rp 27.300.000,00
PTKP setahun

- untuk WP sendiri
- tambahan WP kawin
Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00


Rp 17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp 10.140.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 10.140.000,00 =

PPh Pasal 21 sebulan
Rp 507.000,00 : 12 =

Rp 507.000,00


Rp 42.250,00




Catatan :
  1. Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
  2. Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar : 120% x Rp 42.250,00 = Rp 50.700.000
  3. Untuk contoh-contoh selanjutnya diasumsikan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sudah memiliki NPWP, kecuali disebut lain dalam contoh tersebut.
I.1.2 Bambang Yuliawan pegawai pada perusahaan PT Yasa Buana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp 2.000.000,00. PT Yasa Buana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan Premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Yasa Buana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Bambang Yuliawan membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Yasa Buana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya.

PT Yasa Buana membayar iuran pensiun untuk Bambang Yuliawan ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebeasr Rp 100.000,00, sedangkan Bambang Yuliawan membayar iuran pensiun sebesar Rp 50.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21
Gaji sebulan
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
Premi Jaminan Kematian

Rp 2.000.000,00
Rp 10.000,00
Rp 6.000,00
Penghasilan broto
Rp 2.016.000,00
Pengurangan :
1. Biaya jabatan
5% x Rp 2.016.000,00
2. Iuran Pensiun
3. Iuran Jaminan Hari Tua


Rp 100.800,00
Rp 50.000,00
Rp 40.000,00





Rp 190.800,00
Penghasilan neto sebulan
Rp 1.825.200,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp 1.825.200,00


Rp 21.902.400,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan WP kawin

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00



Rp 17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun
Pembulatan

Rp 4.742.400,00
Rp 4.742.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 4.742.000,00 =

Rp 237.100,00

PPh Pasal 21 sebulan
Rp 237.100,00 : 12 =

Rp 19.758,00

I.1.3 Endang Vidyawati adalah seorang karyawati dengan status menikah tanpa anak, bekerja pada PT Ventura Entiti dengan gaji sebulan sebesar Rp 2.500.000,00. Endang Vidyawati membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 50.000,00 sebulan. Berdasarkan surat keterangan dari Pemda tempat Endang Vidyawati berdomisili yang diserahkan kepada pemberi kerja, diketahui bahwa suaminya tidak mempunyai penghasilan apapun.

Penghitungang PPh Pasal 21 :
Gaji sebulan
Rp 2.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 2.500.000,00 =
2. Iuran pensiun


Rp 125.000,00
Rp 50.000,00




Rp 175.000,00
Penghasilan neto sebulan
Rp 2.325.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp 2.325.000,00 =


Rp 27.900.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00



Rp 17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp 10.740.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp 10.740.000,00 =

Rp 537.000,00

PPh Pasal 21 sebulan
Rp 537.000,00 : 12 =

Rp 44.750,00

I.1.4 Firma Utami karyawati dengan status menikah tetapi belum mempunyai anak bekerja pada PT Unggul Farmindo. Firma Utami menerima gaji Rp 3.000.000,00 sebulan. PT Unggul Farmindo mengikuti program pensiun dan jamsostek. Perusahaan membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp 40.000,00 sebulan.

Firma Utami juga membayar iuran pensiun sebeasr Rp 30.000,00 sebulan, disamping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dar gaji, sedangkan Firma Utami membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebasar 2,00% dari gaji. Berdasarkan surat keterangan Pemda tempat Firma Utami bertempat tinggal diketahui bahwa suami Firma Utami tidak mempunyai penghasilan apapun. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji.

Penghitungan PPh Pasal 21 :
Gaji sebulan
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
Premi Jaminan Kematian

Rp 3.000.000,00
Rp 30.000,00
Rp 9.000,00
Penghasilan bruto sebulan
Rp 3.039.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 3.039.000,00 =
2. Iuran Pensiun
3. Iuran Jaminan Hari Tua


Rp 151.950,00
Rp 30.000,00
Rp 60.000,00





Rp 241.950,00
Penghasilan neto sebulan
Rp 2.797.050,00
Penghasilan neto setahun
12x Rp 2.797.050,00


Rp 33.564.600,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00



Rp 17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak adalah
Pembulatan

Rp 16.404.600,00
Rp 16.404.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp 16.4040.000,00 = Rp 820.200,00


PPh Pasal 21 sebulan
Rp 820.000,00 : 12 = Rp 68.350,00


Catatan :
Apabila suami Firma Utami bekerja, besarnya PTKP Firma Utami adalah PTKP untuk diri sendiri sebesar Rp 15.840.000,00
I.2 DENGAN GAJI MINGGUAN DAN GAJI HARIAN
Contoh-contoh perhitungan berikut ini hanya berlaku bagi pegawai tetap (bukan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas) yang gajinya dibayar mingguan atau harian.
I.2.1 Gaguk Trimanto, menikah dengan satu anak, bekerja sebagai pegawai tetap pada Perusahaan PT Teguh Gemilang menerima gaji yang dibayar mingguan sebesar Rp 600.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 :
Gaji sebulan adalah
4 x Rp 600.000,00


Rp 2.400.000,00
Pengurangan :
Biaya Jabatan
5% x Rp 2.400.000,00



Rp 120.000,00
Penghasilan neto sebulan
Rp 2.280.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp 2.280.000,00


Rp 27.360.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 1 anak

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 1.320.000,00




Rp 18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp 8.880.000,00
PPh Pasal 21
5% x Rp 8.880.000,00

= Rp 444.000,00

PPh Pasal 21 sebulan
Rp 444.000,00 : 12

= Rp 37.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji/upah mingguan
Rp 37.000,00 : 4

= Rp 9.250,00

I.2.2 Harun Sntoso pegawai pada perusahaan PT SEgara Hurip dengan memperoleh gaji mingguan sebesar Rp 500.000,00. Harus kawin dan mempunyai seorang anak. PT Segara Hurip masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing setiap bulan sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. PT Segara Hurip membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji dan Harun membayar iuran pensiun Rp 10.000,00 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji.

Penghasilan sebulan (4 x Rp 500.000,00)
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
Premi Jaminan Kematian

Rp 2.000.000,00
Rp 20.000,00
Rp 6.000,00
Penghasilan bruto
Rp 2.026.000,00



Pengurangan :
1. Biaya jabatan
5% x Rp 2.026.000,00
2. Iuran pensiun
3. Iuran Jaminan Hari Tua


Rp 101.300,00
Rp 10.000,00
Rp 40.000,00





Rp 151.300,00
Penghasilan neto sebulan adalah
Rp 1.874.700,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp 1.874.700,00


Rp 22.496.400,00
PTKP
- untuk wajib pajak
- tambahan karena menikah
- tambahan seorang anak

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 1.320.000,00




Rp 18.480.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun
Pembulatan

Rp 4.016.400,00
Rp 4.016.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp 4.016.000,00

= Rp 243.050,00

PPh Pasal 21 sebulan
Rp 243.050,00 : 12

= Rp 20.254,00

PPh Pasal 21 sehari
Rp 20.254,00 : 26

= Rp 779,00

I.3 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PEMBAYARAN UANG RAPEL

I.3.1 Ahmad Zakaria sebagaimana tersebut dalam contoh nomor I.1.1. diatas pada bulan Juni 2009 menerima kenaikan gaji, menjadi Rp. 3.5000.000,00 sebulan dan berlaku surut sejak 1 Januari 2009. Dengan adanya kenaikan gaji yang berlaku surut tersebut maka Ahmad menerima rapel sejumlah Rp 5.000.000,00 (kekurangan gaji untuk masa Januari s.d. Mei 20069). Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas uang rapel tersebut, terlebih dahulu dihitung kembali PPh Pasal 21 untuk masa Januari s.d. Mei 2009 atas dasar penghasilan setelah ada kenaikan gaji. Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 21 terutangnya adalah sebagai berikut :
Gaji
Pengurangan :
1. Biaya jabatan :
5% x Rp 3.500.000,00 =
2. Iuran Pensiun
 
Rp 175.000,00
Rp 100.000,00
Rp 3.500.000,00




Rp 275.000,00
Penghasilan neto sebulan
Rp 3.225.000,00
Penghasilan neto setahun :
12 x Rp 3.225.000,00


Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk wajib pajak
- tambahan karena menikah

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00



Rp 17.160.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 21.540.000,00
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp 21.540.000,00 =

Rp 1.077.000,00

PPh Pasal 21 sebulan
Rp 1.077.000,00 : 12 =

Rp 89.750,00

PPh Pasal 21 Januari s.d Mei 2009 seharusnya adalah :
5 x Rp 89.750,00 =

Rp 448.750,00
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong Januari s.d Mei Mei 2009
5 x Rp Rp 42.250,00 (dari perhitungan contoh I.1.1) =

Rp 211.250,00
PPh Pasal 21 untuk uang rapel
Rp 237.500,00
I.4 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN BERUPA :JASA PRODUKSI, TANTIEM GRATIFIKASI, TUNJANGAN HARI RAYA ATAU TAHUN BARU, BONUS, PREMI, DAN PENGHASILAN SEJENIS LAINNYA YANG SIFATNYA TIDAK TETAP DAN PADA UMUMNYA DIBERIKAN SEKALI DALAM SETAHUN
I.4.1 Joko Qurnain (tidak kawin) bekerja pada PT Qolbu Jaya dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.000.000,00 sebulan. Dalam tahun yang bersangkutan Joko menerima bonus sebesar Rp 5.000.000,00. Setiap bulannya Joko membayar iuran pensiun ke dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 60.000,00

Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah :
I.4.1.a PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun):
Gaji setahun (12 x Rp 2.000.000,00)
Bonus

Rp 24.000.000,00
Rp 5.000.000,00
Penghasilan bruto setahun
Rp 29.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 29.000.000,00 =
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 60.000,00 =


Rp 1.450.00,00

Rp 720.000,00





Rp 2.170.000,00
Penghasilan neto setahun
Rp 26.830.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 10.990.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 10.990.000,00 =

Rp 549.500,00

I.4.1.b PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun
Gaji setahun (12x Rp 2.000.000,00)
Rp 24.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 24.000.000,00 =
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 60.000,00 =


Rp 1.200.000,00

Rp 720.000,00





Rp 1.920.000,00
Penghasilan neto setahun
Rp 22.080.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 6.240.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 6.240.000,00 =

Rp 312.000,00

I.4.1.c PPh Pasal 21 atas Bonus

PPh Pasal 21 atas Bonus adalah :
Rp 549.500,00 - Rp 312.000,00 = Rp 237.500,00
I.4.2 Karyawati Ken Prameswari (tidak kawin) bekerja pada PT Prabu Kedaton dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.750.000,00 sebulan. Perusahaan ikut dalam program jamsostek. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dan Iuran Jaminan Hari Tua dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing sebesar 1,00%, 0,30% dan 3,70% dari gaji. Prameswari membayar iuran Pensiun Rp 50.000,00 dan iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji untuk setiap bulan. Dalam tahun berjalan dia juga menerima bonus sebesar Rp 4.000.000,00

Cara menghitung PPh Pasal 21 atas bonus adalah sebagai berikut :
I.4.2.a PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (penghasilan setahun):
Gaji setahun (12 x Rp 2.750.000,00)
Bonus
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
12xRp 27.500,00
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00

Rp 33.000.000,00
Rp 4.000.000,00

Rp 330.000,00

Rp 99.000,00
Penghasilan bruto setahun
Rp 37.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 37.429.000,00 =
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 50.000,00 =
3. Iuran Jaminan Hari Tua
12 x Rp 55.000,00 =


Rp 1.871.450,00

Rp 600.000,00

Rp 660.000,00







Rp 3.131.450,00
Penghasilan neto setahun
Rp 34.297.550,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Dibulatkan

Rp 18.457.550,00
Rp 18.457.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 18.457.000,00 =

Rp 992.850,00

I.4.2.b PPh Pasal 21 atas Gaji Setahun
Gaji setahun (12xRp 2.750.000,00) =
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
12 x Rp 27.500,00 =
Premi Jaminan Kematian
12 x Rp 8.250,00 =

Rp 33.000.000,00

Rp 330.000,00

Rp 99.000,00
Jumlah
Rp 33.429.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 33.429.000,00 =
2. Iuran pensiun setahun
12 x Rp 50.000,00 =
3. Iuran Jaminan Hari Tua
12 x Rp 55.000,00 =
Jumlah


Rp 1.671.450,00

Rp 600.000,00

Rp 660.000,00







Rp 2.931.450,00
Penghasilan neto setahun =
Rp 30.497.550,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Pembulatan

Rp 14.657.550,00
Rp 14.657.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 14.657.000,00 =

Rp 732.850,00

I.4.1.c PPh Pasal 21 atas Bonus

PPh Pasal 21 atas Bonus adalah :
Rp 922.850,00 - Rp 732.850,00 = Rp 190.000,00
I.5 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI YANG DIPINDAHTUGASKAN DALAM TAHUN BERJALAN

Pada saat pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan tidak berhenti bekerja dari perusahaan tempat dia bekerja. Pegawai yang bersangkutan masih tetap bekerja pada perusahaan yang sama dan hanya berubah lokasinya saja. Dengan demikian dalam penghitungan PPh Pasal 21 tetap menggunakan dasar penghitungan selama setahun.

Contoh penghitungan :

Agus Saparudin yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Nusantara Mandiri di Jakarta. Sejak 1 Juni 2009 dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bandung dan pada 1 Oktober 2009 dipindahtugaskan lagi ke kantor cabang di Garut. Gaji Agus Saparudin sebesar Rp. 3.500.000,00 dan pembayaran iuran pensiun yang dibayar sendiri sebulan sejumlah Rp 100.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 :
I.5.1 Kantor Pusat di Jakarta
Gaji sebulan
Rp 3.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya Jabatan :
5% x Rp 3.500.000,00 =
2. Iuran pensiun =


Rp 175.000,00
Rp 100.000,00




Rp 175.000,00
Penghasilan neto sebulan adalah
Rp 3.325.000,00
Penghasilan neto setahun :
12 x Rp 3.325.000,00


Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 22.860.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp 22.860.000,00 =

Rp 1.143.000,00

PPh Pasal 21 terutang sebulan
Rp 1.143.000,00 : 12 =

Rp 95.250,00


PPh Pasal 21 terutang dan harus dipotong untuk masa Januari s.d. Mei 2009 adalah :
5/12 x Rp 95.250,00 =
Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong
masa Januari s.d. Mei 2009 adalah :
5 x Rp 95.250,00 =



Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong
N I H I L


Pengisian Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 A1) di Kantor Jakarta
Gaji ( Januari s.d. Mei 2009)
5 x Rp 3.500.000,00


Rp 17.500.000,00
Pengurangan
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 17.500.000,00 =
2. Iuran pensiun
5% x Rp 100.000,00 =


Rp 875.000,00

Rp 500.000,00





Rp 1.375.000,00
Penghasilan neto 5 bulan
Rp 16.125.000,00
Penghasilan neto disetahunkan :
12/5 x Rp 16.125.000,00


Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan
Rp 22.860.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp 22.860.000,00 =


Rp 1.143.000,00

PPh Pasal 21 terutang
5/12 x Rp 1.143.000,00



Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong dan dilunasi
(Januari s.d. Mei 2009) adalah :

5% x Rp 95.250,00 =
Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong
N I H I L
I.5.2 Kantor Cabang Bandung
a. Penghasilan neto di Bandung
Gaji Juni s.d. September 2009 :
4 x Rp 3.500.000,00 =


Rp 14.000.000,00

Pengurangan
1. Biaya Jabatan :
5% x Rp 14.000.000,00 =
2. Iuran pensiun
4 x Rp 100.000,00 =



Rp 700.000,00

Rp 400.000,00






Rp 1.100.000,00
Penghasilan neto di Bandung
Rp 12.900.000,00
b.
Penghasilan neto di Jakarta
Rp 16.125.000,00
Jumlah penghasilan neto 9 bulan
Rp 29.025.000,00
Penghasilan neto disetahunkan :
12/9 x Rp 29.025.000,00 =


Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan
Rp 22.860.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan :
5% x Rp 22.860.000,00 =


Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan
Rp 1.143.000,00 : 12 =


Rp 95.250,00
PPh Pasal 21 terutang dan harus dipotong untuk
masa Januari s.d. September 2009 adalah :
9/12 x Rp 1.143.000,00 =


Rp 857.250,00
PPh Pasal 21 terutang di Jakarta
sesuai dengan Form 1721 - A1


Rp 476.250,00
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong di Bandung
masa Juni s.d. September 2009 adalah :
1 x Rp 95.250,00 =


Rp 381.000,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) potong
N I H I L



Pengisian Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1) di Kantor Bandung
Penghasilan neto di Bandung
Gaji Juni s.d. September 2009 :
4 x Rp 3.500.000,00 =



Rp 14.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan :
5% x Rp 14.000.000,00 =
2. Iuran pensiun
4 x Rp 100.000,00 =


Rp 700.000,00

Rp 400.000,00





Rp 1.100.000,00
Penghasilan neto di Bandung
Penghasilan neto di Jakarta

Rp 12.900.000,00
Rp 16.125.000,00
Jumlah penghasilan neto 9 bulan =
Rp 29.025.000,00

Penghasilan neto disetahunkan :
12/9 x Rp 29.025.000,00 =



Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan
Rp 22.860.000,00

PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp 22.860.000,00 =



Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 terutang
9/12 x Rp 1.143.000,00 =


Rp 857.250,00

PPh Pasal 21 telah dipotong dan dilunasi :
Di Jakarta sesuai dengan Form. 1721 - A1
Di bandung (4x Rp95.250,00)


Rp 476.250,00
Rp 381.000,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong
N I H I L
I.5.3 Kantor Cabang Garut
a. Penghasilan neto di Garut
Gaji Oktober s.d. Desember 2009 :
3x Rp 3.500.000,00 =


Rp 10.500.000,00

Pengurangan
1. Biaya Jabatan :
5% x Rp 10.500.000,00 =
2. Iuran pensiun
3 x Rp 100.000,00 =



Rp 525.000,00

Rp 300.000,00






Rp 825.000,00
Penghasilan neto di Garut
Rp 9.675.000,00
b.

c.
Penghasilan neto di Jakarta
Rp 16.125.000,00
Penghasilan neto di Bandung
Rp 12.900.000,00
Jumlah penghasilan neto setahun
Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 22.860.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp 22.860.000,00 =


Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 terutang di Jakarta dan Bandung
sesuai dengan Form.1721 - A1

Rp 857.750,00
PPh Pasal 21 terutang di Garut
Rp 285.750,00

PPh asal 21 sebulan yang harus dipotong di Garut
Rp 285.750,00 : 3 =


Rp 95.250,00



Pengisian Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1) di Kantor Garut
Penghasilan neto di Garut
Gaji Oktober s.d. Desember 2009 :
3x Rp 3.500.000,00 =



Rp 10.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan :
5% x Rp 10.500.000,00 =
2. Iuran pensiun
3 x Rp 100.000,00 =


Rp 525.000,00

Rp 300.000,00





Rp 825.000,00
Penghasilan neto di Garut
Rp 9.675.000,00

Penghasilan neto di Jakarta
Penghasilan neto di Bandung


Rp 16.125.000,00
Rp 12.900.000,00
Jumlah penghasilan neto setahun =
Rp 38.700.000,00

PTKP
- untuk WP sendiri



Rp 15.840.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 22.860.000,00

PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 22.860.000,00 =



Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 terutang di Jakarta dan Bandung
Sesuai dengan Form. 1721 - A1

Rp 857.250,00
PPh Pasal 21 terutang di Garut
Rp 285.750,00
PPh Pasal 21 telah dipotong (3xRp 95.250,00) Rp 285.750,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong
N I H I L

I.6 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI YANG BERHENTI BEKERJA ATAU MULAI BEKERJA DALAM TAHUN BERJALAN
I.6.1 Pegawai Baru Mulai Bekerja Pada Tahun Berjalan

I.6.1.1 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun kalender tetapi baru bekerja pada pertengahan tahun

Budiyanta bekerja pada PT Xiang Malam sebagai pegawai tetap sejak 1 September 2009. Catur menikah tetapi belum punya anak. Gaji sebulan adalah sebesar Rp 6.000.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp 150.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 tahun 2009 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan
Rp 6.000.000,00
Pengurangan :

1. Biaya Jabatan 5% X Rp 6.000.000,00 = Rp 300.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 150.000,00
------------------



Rp 450.000,00
--------------------
Penghasilan neto sebulan
Rp 5.550.000,00
Penghasilan neto setahun 4 X Rp 5.500.000,00 =
Rp 22.200.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan WP kawin

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
---------------------



Rp 17.160.000,00
--------------------
Penghasilan Kena Pajak setahun
Rp 5.040.000,00
PPh Pasal 21 terutang 5% X Rp 5.040.000,00 = Rp 252.000,00
PPh Pasal 21 sebulan Rp 252.000,00 : 4 = Rp 63.000,00

I.6.1.2 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai setelah permulaan tahun pajak, dan mulai bekerja pada tahun berjalan

David Raisita (K/3) mulai bekerja 1 September 2009. Ia bekerja di Indonesia s.d. Agustus 2012. Selama Tahun 2009 menerima gaji per bulan Rp 20.000.000,00

penghitungan PPh Pasal 21 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan
Rp 20.000.000,00
Pengurangan :

Biaya Jabatan 5% X Rp 20.000.000,00 = Rp 1.000.000,00

Maksimum diperkenankan
Rp 500.000,00
---------------------
Penghasilan neto sebulan
Rp 19.500.000,00
Penghasilan neto selama 4 bulan
Rp 78.000.000,00
Penghasilan neto disetahunkan 12/4 X Rp 78.000.000,00
Rp 234.000.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan WP kawin
- tambahan 3 orang anak (3 X Rp 1.320.000,00)

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 3.960.000,00
--------------------



Rp 21.120.000,00
--------------------
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan
Rp212.880.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan:
- 5% X Rp 50.000.000,00
- 15% X Rp 162.880.000,00


Rp 2.500.000,00
Rp 24.432.000,00
---------------------
Rp 26.932.000,00
PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2009 4/12 X Rp 26.932.000,00 = Rp 8.977.333,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan : 1/4 X Rp 8.977.333,00 = Rp 2.244.333,00
I.6.2 Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan

I.6.2.1 Pegawai Yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan

Arip Marwanto yang berstatus belum menikah adalah pegawai pada PT Mahakam Utama di Yogyakarta - DIY. Sejak 1 Oktober 2009, yang bersangkutan berhenti bekerja di PT Mahakam Utama. Gaji Arip Marwanto setiap bulan sebesar Rp 3.500.000,00 dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan sejumlah Rp 100.000,00 setiap bulan.

Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong setiap bulan :
Gaji sebulan
Rp 3.500.000,00
Pengurangan :

1. Biaya Jabatan 5% X Rp 3.500.000,00 = Rp 175.000,00
2. Iuran Pensiun Rp 100.000,00
------------------



Rp 275.000,00
--------------------
Penghasilan neto
Rp 3.225.000,00
Penghasilan neto setahun 12 X Rp 3.225.000,00 =
Rp 38.700.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
--------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 22.860.000,00
PPh Pasal 21 terutang 5% X Rp 22.860.000,00 = Rp 1.143.000,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebulan : Rp 1.143.000,00 : 12 = Rp 95.250,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang selama bekerja pada PT Mahakam Utama dalam tahun kalender 2009 (s.d. bulan September 2009) dilakukan pada saat berhenti bekerja:
Gaji (januari s.d. September 2009) 9 X Rp 3.500.000,00
Rp 31.500.000,00
Pengurangan :

1. Biaya Jabatan 5% X Rp 31.500.000,00 = Rp 1.575.000,00
2. Iuran Pensiun 9 X Rp 100.000,00 = Rp 900.000,00
-------------------



Rp 2.475.000,00
--------------------
Penghasilan neto 9 bulan adalah
Rp 29.025.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri


Rp 15.840.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 13.185.000,00
PPh Pasal 21 terutang 5% X Rp 13.185.000,00 = Rp 659.250,00
PPh Pasal 21 terutang untuk masa Januari s.d. September 2009 adalah = Rp 659.250,00
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong sampai dengan Bulan Agustus 2009 : 8 X Rp 95.250,00 Rp 762.000,00
---------------------
PPh Pasal 21 lebih dipotong Rp 102.750,00

Catatan :
Kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp 102.750,00 dikembalikan oleh PT Mahakam Utama kepada yang bersangkutan pada saat pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21.

I.6.2.2 Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan dan Sekaligus Kehilangan Kewajiban Pajak Subjektif

Lewis Oshea (K/3) mulai bekerja Mei 2004 dan berhenti bekerja sejak 1 Juni 2009 dan meninggalkan Indonesia ke negara asalnya (kehilangan kewajiban pajak subjektif). Selama tahun 2009 menerima gaji perbulan sebesar Rp 15.000.000,00 dan pada bulan April 2009 menerima bonus sebesar Rp 20.000.000,00

A. Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji adalah :

Gaji sebulan
Rp 15.000.000,00

Pengurangan :
Biaya Jabatan 5% X Rp 15.000.000 = Rp 750.000,00



Maksimum diperkenakan
Rp 500.000,00
--------------------

Penghasilan Neto atas gaji sebulan
Rp 14.500.000,00

Penghasilan Neto disetahunkan : 12 X Rp 14.500.000,00
Rp 174.000.000,00

PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak
- tambahan Wp kawin
- tambahan3 orang anak (3 X Rp 1.320.000,00)

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 3.960.000,00
---------------------




Rp 21.120.000,00
---------------------

Penghasilan Kena Pajak
Rp 152.880.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji setahun :


5% X Rp 50.000.000,00
15% X Rp 102.880.000,00
Rp 2.500.000,00
Rp 15.432.000,00
--------------------
Rp 17.932.000,00


PPh Pasal 21 atas gaji sebulan Rp 17.932.000,00 : 12 = Rp 1.494.333,00
B. Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus :

Gaji disetahunkan (12 x Rp 15.000.000,00)
Rp 180.000.000,00

Bonus
Rp 20.000.000,00
---------------------



Rp 200.000.000,00

Pengurangan :
Biaya Jabatan 5% X Rp 200.000.000,00 = Rp 10.000.000,00



Maksimum diperkenakan 12 X Rp 500.000,00
Rp 6.000.000,00
---------------------

Penghasilan Neto atas gaji setahun dan bonus
Rp 194.000.000,00

PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak
- tambahan Wp kawin
- tambahan 3 orang anak (3 X Rp 1.320.000,00)

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 3.960.000,00
---------------------




Rp 21.120.000,00
---------------------

Penghasilan Kena Pajak
Rp 172.880.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji setahun dan bonus :


5% X Rp 50.000.000,00
15% X Rp 122.880.000,00

Rp 2.500.000,00
Rp 18.432.000,00
----------------------



Rp 20.932.000,00
C. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Bonus :
Rp 20.932.000,00 - rp 17.932.000,00 = Rp 3.000.000,00
D. penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang pada saat pegawai yang bersangkutan berhenti dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, yang dicantumkan dalam Form 1721 A1 :

Gaji selama 5 bulan (5 X Rp 15.000.000,00)
Rp 75.000.000,00

Bonus
Rp 20.000.000,00
----------------------

Jumlah seluruh penghasilan selama 5 bulan
Rp 95.000.000,00

Pengurangan:
Biaya Jabatan 5% X Rp 95.000.000,00 = Rp 4.750.000,00

Rp 4.750.000,00


Maksimum diperkenankan 5 x Rp 500.000,00 = Rp 2.500.000,00
------------------


Penghasilan Neto selama 5 bulan
Rp 92.500.000,00

Jumlah seluruh penghasilan neto disetahunkan
12/5 x Rp 92.500.000,00


Rp 222.000.000,00

PTKP (K/3)
- untuk Wajib Pajak
- tambahan WP kawin
- tambahan 3 orang anak (3 X Rp 1.320.000,00)

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 3.960.000,00
---------------------




Rp 21.120.000,00
---------------------

Penghasilan Kena Pajak
Rp 200.880.000,00

PPh Pasal 21 atas gaji setahun dan bonus :


5% X Rp 50.000.000,00
15% X Rp 150.880.000,00

Rp 2.500.000,00
Rp 22.632.000,00
---------------------



Rp 25.132.000,00

PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan 5 bulan:
5/12 X Rp 25.132.000,00 =


Rp 10.471.667,00

PPh Pasal 21 telah dipotong sampai dengan
bulan April 2009 atas gaji dan bonus :
(4 X Rp 1.494.333,00) + Rp 3.000.000,00 =



Rp 8.977.333,00
---------------------

PPh Pasal 21 terutang dan harus dipotong
Untuk bulan Mei 2009 =


Rp 1.494.333,00

Catatan :
Cara penghitungan di atas berlaku bagi pegawai yang kehilangan kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan karena meninggal dunia

I.7 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DIPEROLEH DALAM MATA UANG ASING

Neill Mc Leary adalah seorang karyawan memperoleh gaji pada bulan Januari 2009 dalam mata uang asing sebesar US$ 2,000 sebulan. Kurs yang berlaku untuk bulan Januari 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan adalah Rp 11.250,00 per US$ 1.00. Neill Mc Leary berstatus menikah dengan 1 anak.

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah :
Gaji sebulan adalah :US$ 2,000 x Rp 11.250,00
Rp 22.500.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan 5% x Rp. 22.500.000,00 = Rp 1.125.000,00
Maksimum diperkenankan



Rp 500.000,00
-----------------------
Penghasilan neto sebulan
Rp 22.000.000,00
Penghasilan neto setahun 12 x Rp 22.000.000,00
Rp 264.000.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 1 orang anak

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 1.320.000,00
---------------------



Rp 18.480.000,00
----------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 245.520.000,00
PPh Pasal 21 terutang setahun

5% x Rp 50.000.000,00 =
15% X Rp 195.520.000,00 =
Rp 2.500.000,00
Rp 29.328.000,00
--------------------
Rp 31.828.000,00

PPh Pasal 21 Sebulan :
Rp 31.828.000,00 : 12 = Rp 2.652.333,00



I.8 PPh PASAL 21 SELURUH ATAU SEBAGIAN DITANGGUNG OLEH PEMBERI KERJA

Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan.

Arip Mulyana adalah seorang pegawai dari PT Lautan Otomata dengan status menikah dan mempunyai 3 orang anak. Dia menerima gaji Rp 4.000.000,00 sebulan dan PPh ditanggung oleh pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 150.000,00
Gaji sebulan

Rp 4.000.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 5% x Rp 4.000.000,00
2. Iuran pensiun

=
=

Rp 200.000,00
Rp 150.000,00
-----------------




Rp 350.000,00
---------------------
Penghasilan neto sebulan

Rp 3.650.000,00
Penghasilan neto setahun 12 xRp 3.650.000,00

Rp 43.800.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 3 orang anak


Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 3.960.000,00
---------------------




Rp 21.120.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak

Rp 22.680.000,00
PPh Pasal 21 setahun adalah 5% X Rp 22.680.000,00 = Rp 1.134.000,00
PPh Pasal 21 sebulan: Rp 1.134.000,00 : 12 = Rp 94.500,00




PPh Pasal 21 sebesar Rp 94.500,00 ini ditanggung dan dibayar oleh pemberi kerja. Jumlah sebesar Rp 94.500,00 tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Brutopemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak kepada Arip Mulyana.

Namun apabila pemberi kerja adalah bukan Wajib Pajak selain pemerintah atau Wajib Pajak yang pengenaan pajaknya berdasarkan PPh Final atau berdasarkan norma penghitungan khusus (demeed profit), maka kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, dan penghitungan pajaknya dilakukan sesuai contoh Nomor I.9.

I.9 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PEGAWAI TETAP YANG MENERIMA TUNJANGAN PAJAK

Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan pajak, maka tunjangan pajak tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.

Contoh penghitungan :

Peri Irawan (status kawin dengan 3 orang anak) bekerja pada PT Kartika Kawashima Pionirindo dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.500.000,00 sebulan. Kepada Peri Irawan diberikan tunjangan pajak sebesar Rp 25.000,00. Iuran pensiun yang dibayar oleh Priyo adalah sebesar Rp 25.000,00 sebulan.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah :


Gaji sebulan

Rp 2.500.000,00
Tunjangan Pajak

Rp 25.000,00
---------------------
Penghasilan bruto sebulan

Rp 2.525.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 5% x Rp 2.525.000,00
2. Iuran pensiun

=
=

Rp 126.250,00
Rp 25.000,00
-----------------




Rp 151.250,00
---------------------
Penghasilan neto sebulan

Rp 2.373.750,00
Penghasilan neto setahun 12 xRp2.373.750,00

Rp 28.485.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 3 orang anak



Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 3.960.000,00
---------------------




Rp 21.120.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak

Rp 7.365.000,00
PPh Pasal 21 setahun adalah 5% X Rp7.365.000,00
= Rp 368.250,00
PPh Pasal 21 sebulan: Rp368.250,00 : 12
= Rp 30.688,00
Selisih pajak terutang dengan tunjangan pajak adalah Rp 30.688,00 - Rp 25.000,00 = Rp 5.688,00 dapat ditanggung oleh pegawai tersebut yaitu dengan dipotongkan dari penghasilan bulan yang bersangkutan atau ditanggung oleh pemberi kerja/pemotong pajak.

Apabila selisih sebesar Rp5.688,00 tersebut ditanggung oleh pemberi kerja/pemotong pajak maka jumlah tersebut bukan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak pemberi kerja/pemotong pajak.

I.10 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN LAINNYA YANG DIBERIKAN OLEH WAJIB PAJAK YANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILANNYA BERSIFAT FINAL ATAU BERDASARKAN NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS (DEEMED PROFIT)

Qalbun Junaidi adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing yang pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), memperoleh gaji sebesar Rp 1.500.000,00 sebulan beserta beras 30 kg dan gula 10 kg. Qalbun Junaidi berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari beras dan gula dihitung berdasarkan harga pasar yaitu :

Harga beras : Rp 10.000,00 per kg.
Harga Gula : Rp 8.000,00 per kg.
Penghitungan PPh Pasal 21


Gaji sebulan

Rp 1.500.000,00
Beras : 30 x Rp 10.000,00

Rp 300.000,00
Gula : 10 x Rp 8.000,00


Rp 80.000,00
---------------------
Penghasilan bruto sebulan

Rp 1.880.000,00
Pengurangan :
Biaya Jabatan 5% x 1.880.000,00



Rp 94.000,00
----------------------
Penghasilan neto sebulan

Rp 1.786.000,00
Penghasilan neto setahun 12 xRp 1.786.000,00

Rp 21.432.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 1 orang anak


Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 1.320.000,00
---------------------




Rp 18.480.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak

Rp 2.952.000,00
PPh Pasal 21 setahun adalah 5% xRp 2.952.000,00 = Rp 147.600,00
PPh Pasal 21 sebulan:Rp 147.600,00 : 12 = Rp 12.300,00

I.11 Perhitungan PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Tetap yang Baru Memiliki NPWP pada Tahun Berjalan

Wahyu Santosa, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp 5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp 200.000,00. Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada bulan Juni 2009 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada PT Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan Juni.
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan Januari - Mei 2009 adalah sebagai berikut :
Gaji dan tunjangan sebulan

Rp 5.500.000,00
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 5% x 5.500.000,00

=

Rp 275.000,00

2. iuran pensiun
= Rp 200.000,00
-----------------




Rp 475.000,00
---------------------
Penghasilan neto atas gaji dan tunjangan sebulan

Rp 5.025.000,00
Penghasilan neto setahun 12 xRp 5.025.000,00

Rp 60.300.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri



Rp 15.840.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak

Rp 44.460.000,00
---------------------
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun adalah 5% xRp44.460.000,00 = Rp 2.223.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan:Rp 2.223.000,00 : 12 = Rp 185.250,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena yang bersangkutan belum memiliki NPWP :
120% X Rp 185.250,00 = Rp 222.300,00
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong dari Januari - Mei 2009 = 5 X Rp 222.300,00
Jumlah PPh Pasal 21 terutang apabila yang bersangkutan memiliki NPWP = 5 X Rp 185.250,00

Selisih (20% X 5 X Rp 185.250,00)

=
=

=
Rp 1.111.500,00
Rp 926.250,00
--------------------
Rp 185.250,00
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk bulan Juni 2009, setelah yang bersangkutan memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada pemberi kerja, dengan catatan gaji dan tunjangan untuk bulan Juni 2009 tidak berubah, adalah sebagai berikut :
PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan perhitungan sebelumnya)
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan 20% sebelum memiliki NPWP (Januari - Mei 2009)
20% X 5 X Rp 185.250,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2009

Rp 185.250.00

(Rp 185.250,00)
------------------
NIHIL
Apabila Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada akhir November 2009 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk bulan Desember 2009, dengan asumsi penghasilan setiap bulan besarnya sama dan tidak ada penghasilan lain selain penghasilan tetap dan teratur setiap bulan tersebut, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009 adalah sebagai berikut :
PPh Pasal 21 terutang sebulan (sama dengan perhitungan sebelumnya)
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan 20% sebelum memiliki NPWP (Januari - November 2009)
20% X 11 X Rp 185.250,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Desember 2009

Rp 185.250.00

(Rp 407.550,00)
------------------
(Rp 222.300,00)
Karena jumlah yang diperhitungkan lebih besar daripada jumlah PPh Pasal 21 terutang untuk bulan Desember 2009, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk bulan tersebut adalah Nihil. Jumlah sebesar Rp 222.300,00 dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan-bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya. Karena jumlah tersebut sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan berikutnya, jumlah tersebut tidak termasuk dalam kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.

Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2009, dimana Wahyu Santoso sudah memiliki NPWP pada akhir bulan November 2009 sebelum pemotongan PPh Pasal 21 bulan Desember 2009 adalah sebagai berikut :
Gaji dan tunjangan setahun : Rp 5.500.000,00 X 12
Pengurangan :
Biaya Jabatan 5% X Rp 66.000.000,00 = Rp 3.300.000,00
iuran pensiun: Rp 200.000,00 X 12 = Rp 2.400.000,00
--------------------


Penghasilan Neto setahun
PTKP (TK/0)
- untuk Wajib Pajak

Penghasilan Kena Pajak
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun : 5% X Rp 44.460.000,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong :
Bulan Januari - November 2009 11 X Rp 222.300
Bulan Desember 2009


PPh Pasal 21 lebih potong untuk diperhitungkan
pada bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya














=Rp 2.445.300,00
=Rp 0,00
---------------------

Rp 66.000.000,00




Rp 5.700.000,00
--------------------
Rp 60.300.000,00

Rp 15.840.000,00
--------------------
Rp 44.460.000,00
Rp 2.223.000,00



Rp 2.445.300,00
--------------------

(Rp 222.300,00)
Karena jumlah sebesar Rp 222.300,00 sudah diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang bulan berikutnya oleh Pemotong PPh Pasal 21, maka jumlah yang dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi pegawai yang bersangkutan sebesar Rp 2.223.000,00

I.12 Penghitungan PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong Pada Masa Pajak Terakhir, yaitu :
  1. Bulan Desember untuk Pegawai Tetap yang bekerja sampai dengan akhir tahun kalender;
  2. Bulan Terakhir Memperoleh Gaji atau Penghasilan Tetap dan Teratur karena yang Bersangkutan Berhenti Bekerja.
I.12.1 Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong pada Bulan Desember.
  1. Dalam Hal Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan Sama/Tidak Berubah, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember besarnya sama dengan yang dipotong pada bulan-bulan sebelumnya.
  2. Dalam Hal Besarnya Penghasilan Tetap dan Teratur Setiap Bulan Mengalami Perubahan.

Jaka Lelana, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT Lazuardi Internusa dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp 5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp 200.000,00. Mulai bulan Juli 2009, Jaka Lelana memperoleh kenaikan penghasilan tetap setiap bulan menjadi sebesar Rp 7.000.000,00

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Januari-Juni 2009 adalah sebagai berikut :
Gaji dan tunjangan setahun
Pengurangan :
Biaya Jabatan 5% X Rp 5.500.000,00 = Rp 275.000,00
iuran pensiun = Rp 200.000,00
--------------------


Penghasilan Neto atas gaji dan tunjangan sebulan
Penghasilan Neto setahun 12 X Rp 5.025.000,00
PTKP (TK/0)
- untuk Wajib Pajak

Penghasilan Kena Pajak
PPh Pasal 21 atas gaji setahun : 5% X Rp 44.460.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan : Rp 2.223.000,00 : 12 =













Rp 2.223.000,00
Rp 185.250,00
Rp 5.500.000,00




Rp 475.000,00
--------------------
Rp 5.025.000,00
Rp 60.300.000,00

Rp 15.840.000,00
--------------------
Rp 44.460.000,00

Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan untuk bulan Juli-November 2009 adalah sebagai berikut :
Gaji dan tunjangan setahun
Pengurangan :
Biaya Jabatan 5% X Rp 7.000.000,00 = Rp 350.000,00
iuran pensiun = Rp 200.000,00
--------------------


Penghasilan Neto atas gaji dan tunjangan sebulan
Penghasilan Neto setahun 12 X Rp 6.450.000,00
PTKP (TK/0)
- untuk Wajib Pajak

Penghasilan Kena Pajak
PPh Pasal 21 atas gaji setahun :
5% X Rp 50.000.000,00
15% X Rp 11.560.000,00


PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan :
Rp 4.234.000,00 : 12 = Rp 352.833,00
Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009 :
Penghasilan selama setahun :
(6 X Rp 5.500.000,00) + (6 X Rp 7.000.000,00) =
Pengurangan:
Biaya Jabatan : 5% X Rp 75.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
Iuran Pensiun : 12 X Rp 200.000,00 = Rp 2.400.000,00
-------------------


Penghasilan Neto
PTKP (TK/0)
- untuk Wajib Pajak

Penghasilan Kena Pajak
PPh Pasal 21 terutang:
5% X Rp 50.000.000,00 Rp2.500.000,00
155 X Rp 3.010.000,00 Rp 451.500,00
-------------------

PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. November 2009 :
(6 X Rp 185.250,00) + ( 5 X Rp 352.833,00)

PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan Desember 2009






Rp 7.000.000,00




Rp 550.000,00
--------------------
Rp 6.450.000,00
Rp 77.400.000,00

Rp 15.840.000,00
--------------------
Rp 61.560.000,00

Rp 2.500.000,00
Rp 1.734.000,00
--------------------
Rp 4.234.000,00




Rp 75.000.000,00




Rp 6.150.000,00
--------------------
Rp 68.850.000,00

Rp 15.840.000,00
--------------------
Rp 53.010.000,00



Rp 2.951.500,00


Rp 2.875.365,00
-------------------
Rp 76.135,00
I.12.2 Penghitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong pada Bulan Terakhir Pegawai Tetap Memperoleh Penghasilan Tetap dan Teratur Karena Yang Bersangkutan Berhenti Bekerja sebelum Bulan Desember.

contoh: Lihat Contoh I.6.2. Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan
II PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS UANG PENSIUN YANG DIBAYARKAN SECARA BERKALA (BULANAN)

II.1 Penghitungan PPh Pasal 21 Pada Tahun Pertama Dibayarkannya Uang Pensiun Secara Bulanan
II.1.1 Penghitungan PPh Pasal 21 di Tempat Pemberi Kerja Sebelum Pensiun

Apabila waktu pensiun sudah dapat diketahui dengan pasti pada awal tahun, misalnya berdasarkan ketentuan yang berlaku di tempat pemberi kerja yang dikaitkan dengan usia pegawai yang bersangkutan, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang sebulan dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang akan diperoleh dalam periode dimana pegawai yang bersangkutan akan bekerja dalam tahun berjalan sebelum memasuki masa pensiun.

Namun, apabila waktu pensiun belum dapat diketahui dengan pasti pada waktu menghitung PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan, maka perhitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada perkiraan penghasilan neto setahunseperti pada Contoh I.6.2.1. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang msih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja pada Tahun Berjalan.

Contoh :
Raden Suryaman, berstatus kawin dengan 2 (dua) orang anak yang masih menjadi tanggungan, bekerja sebagai pegawai tetap pada PT Indo Rejo Abadi dengan gaji sebulan sebesar Rp 5.000.000,00. Raden Suryaman setiap bulan membayar iuran pensiun sebesar Rp 250.000,00 ke Dana Pensiun Swadhana Utama yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku di PT Indo Rejo Abadi terhitung mulai 1 Juli 2000, Raden Suryawan akan memasuki masa pensiun.

Penghitungan PPh Pasal 21 sebulan :
Gaji sebulan
Rp 5.000.000,00
Pengurangan :

1. Biaya jabatan = 5% x Rp 5.000.000,00 = Rp 250.000,00
2. Iuran pensiun Rp250.000,00
-----------------



Rp 500.000,00
---------------------
Penghasilan neto sebulan
Rp 4.500.000,00
Penghasilan Neto 6 bulan (masa bekerja Januari s.d. Juni 2009)
Rp 4.500.000,00 X 6


Rp 27.000.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 2 orang anak


Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 2.640.000,00
--------------------





Rp 19.800.000,00
--------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 7.200.000,00
PPh Pasal 21 terutang : 5% xRp 7.200.000,00
Rp 360.000,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan :Rp 360.000,00 : 6
Rp 60.000,00

Pada saat Raden Suryaman berhenti bekerja dan memasuki masa pensiun, maka pemberi kerja memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721 A1) dengan data sebagai berikut :
Gaji selama 6 bulan : 6 x Rp 5.000.000,00
Rp 30.000.000,00
Pengurangan :

1. Biaya jabatan : 5% xRp 30.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
2. Iuran pensiun : 6 x Rp 250.000,00 = Rp 1.500.000,00
-------------------



Rp 3.000.000,00
----------------------
Penghasilan Neto selama 6 bulan
Rp 27.000.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 2 orang anak

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 2.640.000,00
--------------------




Rp 19.800.000,00
-----------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 7.200.000,00
PPh Pasal 21 terutang (5% xRp 7.200.000,00)
Rp 360.000,00
PPh Pasal 21 telah dipotong (6 x Rp 60.000,00)
Rp 360.000,00
---------------------
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong
NIHIL
Apabila pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan didasarkan pada penghasilan yang disetahunkan, karena pada saat perhitungan belum diketahui secara pasti saat pensiun atau berhenti bekerja, maka pada saat penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk masa terakhir (saat pensiun atau berhenti bekerja), akan terjadi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang bersangkutan, yang harus dikembalikan oleh pemotong pajak kepada pegawai yang bersangkutan.
II.1.2 Penghitungan PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang Membayarkan Uang Pensiun Bulanan.

Untuk kemudahan dan kesederhanaan bagi pegawai yang pensiun dalam hal yang bersangkutan tidak mempunyai penghasilan selain dari pekerjaan dari satu pemberi kerja dan uang pensiun, Dana Pensiun menghitung pemotongan PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun pertama pegawai menerima uang pensiun dengan berdasarkan pada gunggungan penghasilan neto dari pemberi kerja sampai dengan pensiun dan perkiraan uang pensiun yang akan diterima dalam tahun kalender yang bersangkutan. Agar Dana Pensiun dapat melakukan pemotongan PPh Pasal 21 seperti itu, maka penerima pensiun harus segera menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721 A-1/1721 A-2) dari pemberi kerja sebelumnya.

Melanjutkan contoh sebelumnya :

Selanjutnya, mulai bulan Juli 2009 Raden Suryaman memperoleh uang pensiun dari Dana Pensiun Swadhana Utama sebesar Rp 3.000.000,00 sebulan. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang atas uang pensiun adalah sebagai berikut :
Pensiun sebulan adalah
Rp 3.000.000,00
Pengurangan :

Biaya pensiun 5% x Rp 3.000.000,00 =
Rp 150.000,00
--------------------
Penghasilan neto sebulan
Rp 2.850.000,00
Penghasilan neto Juli s.d. Desember 2009
6 xRp 2.850.000,00


Rp 17.100.000,00
Penghasilan neto dari PT Indo Rejo Abadi
sesuai dgn bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah


Rp 27.000.000,00
---------------------
Jumlah penghasilan neto tahun 2009
Rp 44.100.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 2 orang anak

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 2.640.000,00
--------------------



Rp 19.800.000,00
-----------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 24.300.000,00
PPh Pasal 21 terutang adalah5% xRp 24.300.000,00
Rp 1.215.000,00
PPh Pasal 21 terutang di PTIndo Rejo Abadi
sesuai dgn bukti pemotongan PPh Pasal 21(Form 1721 A1)


Rp 360.000,00
---------------------
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun
Swadhana Utama, selama 6 bulan adalah


Rp 855.000,00
PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang harus dipotong tiap bulan adalah : Rp 855.000,00 : 6 = Rp 142.500,00
Penghitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun Swadhana Utama untuk dicantumkan dalam Form 1721 A1:
Pensiun selama 6 bulan : 6 x Rp 3.000.000,00
Rp 18.000.000,00
Pengurangan :
Biaya pensiun 5% x Rp 18.000.000,00 =


Rp 900.000,00
----------------------
Penghasilan neto 6 bulan
Rp 17.100.000,00
Penghasilan neto daridi PTIndo Rejo Abadi
sesuai dgn bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah


Rp 27.000.000,00
---------------------
Jumlah penghasilan neto tahun 2009
Rp 44.100.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 2 orang anak

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 2.640.000,00
--------------------



Rp 19.800.000,00
---------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 24.300.000,00
PPh Pasal 21 terutang adalah
5% xRp 24.300.000,00


Rp 1.215.000,00
PPh Pasal 21 terutang di PTIndo Rejo Abadi
sesuai dgn bukti pemotongan PPh Pasal 21(Form 1721 A1)


Rp 360.000,00
---------------------
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun
Swadhana Utama, selama 6 bulan adalah


Rp 855.000,00
PPh Pasal 21 telah dipotong : 6 x Rp 142.500,00
Rp 855.000,00
--------------------
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong
NIHIL

II.2 Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Pembayaran Uang Pensiun Secara Bulanan Pada Tahun Kedua dan Seterusnya.

Dengan menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan mulai Januari 2010 (tahun kedua yang bersangkutan pensiun) adalah sebagai berikut :
Pensiun sebulan adalah
Rp 3.000.000,00
Pengurangan :

Biaya pensiun 5% x Rp 3.000.000,00 =

Rp 150.000,00
--------------------
Penghasilan neto sebulan
Rp 2.850.000,00
Penghasilan neto disetahunkan
12 xRp 2.850.000,00


Rp 34.200.000,00
PTKP
- untuk WP sendiri
- tambahan karena menikah
- tambahan untuk 2 orang anak

Rp 15.840.000,00
Rp 1.320.000,00
Rp 2.640.000,00
--------------------



Rp 19.800.000,00
-----------------------
Penghasilan Kena Pajak
Rp 14.400.000,00
PPh Pasal 21 setahun : 5% x Rp 14.400.000,00 = Rp 720.000,00
PPh Pasal 21 sebulan Rp 720.000,00 : 12 = Rp 60.000,00
III. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA YANG DITERIMA SEKALIGUS
III.1 DENGAN UPAH HARIAN
III.1.1 Sentot dengan status belum menikah pada bulan Januari 2009 bekerja sebagai buruh harian PT Harapan Sentosa. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp 150.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan
pemotongan PPh

Penghasilan Kena Pajak sehari
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari:

Rp 150.000,00

Rp 150.000,00

Rp 0,00
Rp 0,00
Sampai dengan hari ke-8, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

Pada hari ke-9 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Upah s.d hari ke-9 (Rp 15.000,00 x 9)
PTKP sebenarnya:
9 x (Rp 15.840.000,00 / 360)

Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-9

PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-9
5% x Rp 954.000,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-8

PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-9
Rp 1.350.000,00

Rp 396.000,00

Rp 954.000,00


Rp 47.700,00
Rp 0,00

Rp 47.700,00
Sehingga pada hari ke-9, upah bersih yang diterima Sentot sebesar:
Rp 150.000,00 - Rp 47.700,00 = p 102.300,00
Pada hari kerja ke-10, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong adalah:

Upah sehari

PTKP sehari
- untuk WP sendiri (Rp 15.840.000,00 : 360)

Penghasilan Kena Pajak


PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp 106.000,00


Rp 150.000,00


Rp 44.000,00

Rp 106.000,00



Rp 5.300,00
Sehingga pada hari ke-10, Sentot menerima upah bersih sebesar:
Rp 150.000,00 - Rp 5.300,00 = Rp 144.700,00

III.1.2 Teguh Gunanto (belum menikah) pada bulan Maret 2009 bekerja pada perusahaan PT Gerbang Transindo, menerima upah sebesar Rp 200.000,00 per hari
Penghitungan PPh Pasal 21 Upah sehari Rp 200.000,00
Upah sehari di atas Rp 150.000,00 adalah:
Rp 200.000,00 - Rp 150.000,00 = Rp 50.000,00

PPh Pasal 21 = 5% x Rp 50.000,00 = Rp 2.500,00 (harian)

Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Teguh Gunanto telah menerima penghasilan sebesar Rp 1.400.000,00, sehingga telah melebihi Rp 1.320.000,00. Dengan demikian PPh Pasal 21 atas penghasilan Teguh Gunanto pada bulan Maret 2009 dihitung sebagai berikut:
Upah 7 hari kerja

PTKP:
7 x (Rp 15.840.000,00/360)

Penghasilan Kena Pajak

PPh Pasal 21 = 5% X Rp 1.092.000,00

PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-6:
6 x Rp 2.500,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-7
Rp 1.400.000,00


Rp 308.000,00

Rp 1.092.000,00

Rp 54.600,00


Rp 15.000,00

Rp 39.600,00
Jumlah sebesar Rp 39.600,00 ini dipotongkan dari upah harian sebesar Rp 200.000,00 sehingga upah yang diterima Teguh Gunanto pada hari kerja ke-7 adalah:
Rp 200.000,00 - Rp 39.600,00 = Rp 160.400,00

Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari

PTKP
- untuk WP sendiri
Rp 15.840.000,00 : 360

Penghasilan Kena Pajak

PPh Pasal 21 terutang adalah 5% x Rp 156.000,00 =
Rp 200.000,00



Rp 44.000,00

Rp 156.000,00

Rp 7.800,00
III.2 DENGAN UPAH SATUAN
Urip Firmanto (belum menikah) adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada suatu perusahaan elektronika. Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp 50.00,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 24 buah TV dengan upah Rp 1.200.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 :

Upah sehari adalah
Rp 1.200.000,00 : 6

Upah diatas Rp 150.000,00 sehari
Rp 200.000,00 - Rp 150.000,00

Upah seminggu terutang pajak
6 x Rp 50.000,00

PPh Pasal 21
5% x Rp 300.000,00 = Rp 15.000,00 (Mingguan)



Rp 200.000,00


Rp 50.000,00


Rp 300.000,00
III.3 DENGAN UPAH BORONGAN
Contoh Penghitungan :

Viko mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 350.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari : Rp 350.000,00 : 2 =

Upah sehari diatas Rp 150.000

Rp 175.000,00 - Rp 150.000,00

Upah borongan terutang pajak:
2 x Rp 25.000,00

PPh Pasal 21 = 5% x Rp 50.000,00 =
Rp 175.000,00



Rp 25.000,00


Rp 50.000,00

Rp 2.500,00
III.4 UPAH HARIAN/SATUAN/BORONGAN/HONORARIUM YANG DITERIMA TENAGA HARIAN LEPAS TAPI DIBAYARKAN SECARA BULANAN
Wardi bekerja pada perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2009 Wardi hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp 120.000,00. Wardi menikah tetapi belum memiliki anak.
Penghitungan PPh Pasal 21

Upah Januari 2009 = 20 x Rp 120.000,00 =
Penghasilan neto setahun = 12 x Rp 2.400.000,00 =
PTKP (K/-) adalah sebesar
Untuk WP sendiri Rp 15.840.000,00
tambahan karena menikah Rp 1.320.000,00

Penghasilan Kena Pajak

PPh Pasal 21 setahun adalah sebesar :
5% x Rp 11.640.000,00 =

PPh Pasal 21 sebulan adalah sebesar :
Rp 582.000,00 : 12 =


Rp 2.400.000,00
Rp 28.800.000,00



Rp 17.160.000,00

Rp 11.640.000,00

Rp 582.000,00


Rp 48.500,00
IV. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS JASA PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI YANG DITERIMA MANTAN PEGAWAI, HONORARIUM KOMISARIS YANG BUKAN SEBAGAI PEGAWAI TETAP DAN PENARIKAN DANA PENSIUN OLEH PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI PEGAWAI
IV.1 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan pegawai.

Victoria Endah bekerja pada PT Fajar Wisesa. Pada tanggal 1 Januari 2009 telah berhenti bekerja pada PT Fajar Wisesa karena pensiun. Pada bulan Maret 2009 Victoria Endah menerima jasa produksi tahun 2008 dari PT Fajar Wisesa sebesar Rp 55.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 5.000.000,00 = Rp 750.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 3.250.000,00

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada mantan pegawai lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.
IV.2 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap

Pandaya adalah seorang komisaris di PT Wahana Sejahtera, yang bukan sebagai pegawai tetap. Dalam tahun 2009, yaitu bulan Desember 2009 menerima honorarium sebesar Rp 60.000.000,00

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 10.000.000,00 = Rp 1.500.000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp 4.000.000,00

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada yang bersangkutan lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menrapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.
IV.3 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai

Zakarias Safaat adalah pegawai PT Sampurna Sejati menerima gaji Rp 2.000.000,00 sebulan. PT Sampurna Sejati mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT Sampurna Sejati membayar iuran dana pensiun untuk Zakarias Safaat sebesar Rp 100.000,00 sebulan ke Dana Pensiun Manfaat Sejahtera, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Zakarias Safaat membayar iuran serupa ke dana pensiun yang sama sebesar Rp 50.000,00 sebulan.

Bulan April 2009 Zakarias Safaat memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya maka ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri sebesar Rp 20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2009 ia menarik lagi dana sebesar Rp 15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober 2009 untuk keperluan lainnya ia menarik lagi dana sebesar Rp 25.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
  1. atas penarikan dana sebesar Rp 20.000.000,00 pada bulan April 2009 terutang PPh Pasal 21 sebesar 5%xRp 20.000.000,00 = Rp1.000.000,00
  1. atas penarikan dana sebesar Rp 15.000.000,00 pada bulan Juni 2009 terutang PPh Pasal 21 sebesar 5%xRp 15.000.000,00 = Rp750.000,00
  1. atas penarikan dana sebesar Rp 25.000.000,00 pada bulan Oktober 2009 terutang PPh Pasal 21 sebesar:
5% x Rp 15.000.000,00 = Rp 750.000,00
15% x Rp 10.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
Rp 2.250.000,00
V PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI.
V.1 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH TENAGA AHLI YANG MELAKUKAN PEKERJAAN BEBAS
V.1.1 Contoh perhitungan dokter yang praktik di rumah sakit dan/atau klinik

dr. Abdul Gopar merupakan dokter spesialis jantung yang melakukan praktik di Rumah Sakit Harapan Jantung Sehat dengan perjanjian bahwa atas setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong 20% oleh pihak rumah sakit sebagai bagian penghasilan rumah sakit dan sisanya sebesar 80% dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan kepada dr. Abdul Gopar pada setiap akhir bulan. Dalam semester pertama tahun 2009, jasa dokter yang dibayarkan pasien atas tindakan dr. Abdul Gopar adalah sebagai berikut:
Bulan Jumlah Jasa Dokter yang dibayar Pasien (Rupiah)
Januari 30.000.000,00
Februari 30.000.000,00
Maret 25.000.000,00
April 40.000.000,00
Mei 30.000.000,00
Juni 25.000.000,00
Jumlah 180.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2009:


Bulan
Jasa Doketr
yang dibayar
Pasien

(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21

(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
Kumulatif
(Rupiah)
Tarif
Pasal 17
ayat (1)
huruf a
UU PPh
PPh
Pasal 21
terutang

(Rupiah)
(1) (2) (3)=50% x (2) (4) (5) (6)=(3) x (5)
Januari 30.000.000,00 15.000.000,00 15.000.000,00 5% 750.000,00
Februari 30.000.000,00 15.000.000,00 30.000.000,00 5% 750.000,00
Maret 25.000.000,00 12.500.000,00 42.500.000,00 5% 625.000,00

April
15.000.000,00

25.000.000,00
7.500.000,00

12.500.000,00
50.000.000,00

62.500.000,00
5%

15%
375.000,00

1.875.000,00
Mei 30.000.000,00 15.000.000,00 77.500.000,00 15% 2.250.000,00
Juni 25.000.000,00 12.500.000,00 90.000.000,00 15% 1.875.000,00
Jumlah 180.000.000,00 90.000.000,00

8.500.000,00

Apabila dr. Abdul Gopar belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
V.1.2 Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima Oleh Tenaga Ahli selain dokter yang praktik di rumah sakit:

Ir. Garda Suganda, MArch adalah seorang arsitek, pada bulan Maret 2009 menerima fee sebesar Rp 100.000.000,00 dari PT Selaras Propertindo sebagai imbalan pemberian jasa yang dilakukannya. Pada bulan Juli 2009 menrima pelunasan sisa fee sebesar Rp50.000.000.

Penghitungan PPh Pasal 21:
Bulan Penghasilan

Bruto

(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21

(Rupiah)
Dasar
Pemotongan
PPh Pasal 21
Kumulatif
(Rupiah)
Tarif
Pasal 17
ayat (1)
huruf a
UU PPh
PPh
Pasal 21
terutang

(Rupiah)
(1) (2) (3)= 50% x (2) (4) (5) (6) = (3) x (5)
Maret 100.000.000,00 50.000.000,00 50.000.000,00 5% 2.500.000,00
Juli 50.000.000,00 25.000.000,00 75.000.000,00 15% 3.750.000,00
Jumlah 150.000.000,00 75.000.000,00

6.250.000,00
V.2 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI LAINNYA YANG MENRIMA PENGHASILAN YANG BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN

Uswatun Hasanah adalah seorang ibu rumah tangga yang mempunyai 2 orang anak bekerja sebagai distributor multi level marketing pada PT Golden Chain. Suami Uswatun Hasanah telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan mempunyai NPWP, dan yang bersangkutan bekerja pada PT. Pelangi Antar Nusa. Uswatun Hasanah telah menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Uswatun Hasanah hanya memperoleh penghasilan dari kegiatannya sebagai distributor multi level marketing, dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut kepada PT Golden Chain. Dalam semester pertama tahun 2009, penghasilan yang diterima oleh Uswatun Hasanah sebagai distributor MLM dari perusahaan tersebut adalah sebagai berikut:

Januari 2009 Rp 20.000.000,00
Februari 2009 Rp 17.000.000,00
Maret 2009 Rp 23.000.000,00
April 2009 Rp 15.000.000,00
Mei 2009 Rp 25.000.000,00
Juni 2009 Rp 10.000.000,00

Jumlah Rp 110.000.000,00

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Janusri s.d. Juni 2009 adalah sebagai berikut:


Bulan
Penghasilan

Bruto

(Rupiah)
PTKP

sebulan

(Rupiah)
PKP

sebulan

(Rupiah)
PKP

Kumulatif

(Rupiah)
Tarif
Pasal 17
ayat (1)
Huruf a
UU PPh
PPh
Pasal 21
terutang

(Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) = (4) x (6)
Jan 20.000.000,00 1.320.000,00 18.680.000,00 18.680.000,00 5% 934.000,00
Feb 17.000.000,00 1.320.000,00 15.680.000,00 34.360.000,00 5% 784.000,00

Maret
23.000.000,00
1.320.000,00 15.640.000,00

6.040.000,00
50.000.000,00

56.040.000,00
5%

15%
782.000,00

906.000,00
April 15.000.000,00 1.320.000,00 13.680.000,00 69.720.000,00 15% 2.052.000,00
Mei 25.000.000,00 1.320.000,00 23.680.000,00 93.400.000,00 15% 3.552.000,00
Juni 10.000.000,00 1.320.000,00 8.680.000,00 102.080.000,00 15% 1.302.000,00
Jumlah 110.000.000,00 7.920.000,00 102.080.000,00 102.080.000,00
10.312.000,00


Apabila Uswatun Hasanah tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Uswatun Hasanah sendiri tidak memiliki NPWP, maka perhitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di atas namun tidak memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang terutang adalah sebesar 120% berdasarkan perhitungan tersebut, yaitu sebagai berikut:



Bulan
Penghasilan

Bruto

(Rupiah)
Penghasilan
Bruto
Kumulatif

(Rupiah)
Tarif
Pasal 17
ayat (1)
huruf a
UU PPh
Tidak

Memiliki

NPWP
PPH Pasal 21

Terutang

(Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)=(20x(4)x(5)
Januari 20.000.000,00 20.000.000,00 5% 120% 1.200.000,00
Februari 17.000.000,00 37.000.000,00 5% 120% 1.020.000,00

Maret
13.000.000,00

10.000.000,00
50.000.000,00

60.000.000,00
5%

15%
120%

120%
780.000,00

1.800.000,00
April 15.000.000,00 75.000.000,00 15% 120% 2.700.000,00
Mei 25.000.000,00 100.000.000,00 15% 120% 4.500.000,00
Juni 10.000.000,00 110.000.000,00 15% 120% 1.800.000,00
Jumlah 110.000.000,00 110.000.000,00

13.800.000,00

Dalam hal suami Uswatun Hasanah atau Uswatun Hasanah sendiri telah memiliki NPWP, namun Uswatun Hasanah mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai distributor multi level marketing, maka perhitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh di atas, namun tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.
V.3 PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI LAINNYA YANG MENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN.

Dwi Amiarsih, M.B.A adalah seorang penceramah yang memberikan ceramah pada suatu lokakarya sehari yang diselenggarakan oleh suatu yayasan, honorarium yang dibayarkan adalah sebesar Rp 2.500.000,00

PPh Pasal 21 yang terutang : 5% x Rp 2.500.000,00 = Rp 125.000,00
V.4 PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI, SELAIN TENAGA AHLI, SEHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN JASA YANG DALAM PEMBERIAN JASANYA MEMPERKERJAKAN ORANG LAIN SEBAGAI PEGAWAINYA DAN/ATAU MELAKUKAN PENYERAHAN MATERIAL/BAHAN

Sulistiya Nugraha menerima pekerjaan dekorasi gedung dari PT Wahana Jaya dengan imbalan Rp 10.000.000,00. Sulistiya Nugraha mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp 180.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp 4.500.000,00. selain itu, Sulistiya Nugraha membeli material/bahan yang dipakai untuk dekorasi gedung sebesar Rp 1.000.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
I. Imbalan yang diterima Sulistiya Nugraha dari PT Wahana Jaya merupakan imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan orang pribadi bukan sebagai pegawai PT Wahana Jaya, yang harus dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a atas jumlah imbalan bruto. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan oleh Sulistiya Nugraha, dapat diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Sulistiya Nugraha dan biaya untuk membeli material/bahan, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Sulistiya Nugraha adalah sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Sulistiya Nugraha dan biaya material/bahan, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:

Rp 10.000.000,00 - Rp 4.500.000,00 - Rp 1.000.000,00 = Rp 4.500.000,00.

PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Sulistiya Nugraha = Rp 5% x Rp 4.500.000,00 = Rp 225.000,00. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Sulistiya Nugraha mengenai upah yang harus dikeluarkan Sulistiya Nugraha atau pembelian material/bahan, maka dasar pemotongan PPH Pasal 21 adalah jumlah sebesar Rp 10.000.000,00.
II. Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Sulistiya Nugraha sama seperti dalam contoh III.1 di atas.
VI. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA PESERTA KEGIATAN.

Contoh Penghitungan PPh Pasal 21
Taufik Aprianto adalah seorang pemain bulutangkis professional yang bertempat tinggal di Indonesia. Ia menjuarai turnamen Indonesia Terbuka dan memperoleh hadiah sebesar Rp 200.000.000,00.

PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Terbuka tersebut adalah:

5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 150.000.000,00 = Rp 22.500.000,00
Rp 25.000.000,00
VII. PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI DENGAN STATUS WAJIB PAJAK LUAR NEGERI YANG MEMPEROLEH GAJI SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DALAM MATA UANG ASING
a. Dalam hal pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri memperoleh gaji sebagian atau seluruhnya dalam mata uang asing sebelum PPh dihitung terlebih dahulu harus dikonversi dalam mata uang rupiah.
b. PPh Pasal 26 yang terutang dihitung berdasarkan jumlah penghasilan bruto, dan tidak boleh diperhitungkan pengurangan-pengurangan seperti biaya jabatan dan PTKP.

Contoh:
William Bentley adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari. Dia berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia memperoleh gaji pada bulan Maret 2009 sebesar US$ 2,500 sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp 11.500,00 untuk US$ 1.00

Penghitungan PPh Pasal 26:
Penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah:
US$ 2,500 x Rp 11.500,00 = Rp 28.750.000,00
PPh Pasal 26 terutang adalah:
20% x Rp 28.750.000,00 = Rp 5.750.000,00
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098