PERATURAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-31/PJ/2009
Tanggal 25 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-31/PJ/2009
Tanggal 25 Mei 2009
PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN
PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 24 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi, dan ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta
Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan,
perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pedoman Teknis Tata
Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi;
Mengingat:-
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
-
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.03/2008 tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya Yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA
CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG
PRIBADI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan:-
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
-
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
-
Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
-
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan, termasuk bentuk usaha tetap, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
-
Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
-
Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun kepada orang pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
-
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.
-
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai Subjek Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.
-
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
-
Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.
-
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
-
Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
-
Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
-
Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
-
Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan imbalan dengan nama apapun yang diberikan secara periodik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
-
Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun.
-
Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
-
Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
-
Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
-
Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.
-
Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada bukan pegawai sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya.
-
Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan adalah imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
-
Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan tertentu, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya.
-
Masa Pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
BAB II
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 2
(1) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi
:
|
| |
(2) |
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang mempunyai kewajiban
untuk melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah:
|
| |
(3) |
Dalam hal organisasi internasional tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, organisasi internasional dimaksud
merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan pemotongan
pajak.
|
BAB III
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG
PPh PASAL 21 DAN ATAU PPh PASAL 26
PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG
PPh PASAL 21 DAN ATAU PPh PASAL 26
Pasal 3
Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
orang pribadi yang merupakan :-
pegawai;
-
penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
-
bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
-
tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
-
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
-
olahragawan
-
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
-
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
-
pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
-
agen iklan;
-
pengawas atau pengelola proyek;
-
pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
-
petugas penjaja barang dagangan;
-
petugas dinas luar asuransi;
-
distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
-
-
peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :
-
peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
-
peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
-
peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
-
peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
-
peserta kegiatan lainnya.
-
Pasal 4
Tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang
Dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
adalah:
-
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
-
Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
BAB IV
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 5
(1) |
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
adalah:
|
| |
(2) |
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh:
|
|
Pasal 6
(1) |
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima
atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri merupakan penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21.
|
(2) |
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima
atau diperoleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri merupakan penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 26.
|
Pasal 7
(1) |
Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas
penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) didasarkan pada harga pasar atas
barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang
diberikan.
|
(2) |
Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) diterima atau diperoleh dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau
pada saat dibebankan sebagai biaya.
|
Pasal 8
(1) |
Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh
Pasal 21 adalah:
|
| |
(2) |
Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk
yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
BAB V
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN
PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 9
(1) |
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai
berikut:
|
| |
(2) |
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah
penghasilan bruto.
|
Pasal 10
(1) |
Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah seluruh
jumlah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang diterima atau
diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.
|
(2) |
Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a adalah sebagai berikut :
|
| |
(3) |
Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh
Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
|
| |
(4) |
Besarnya penghasilan netto bagi penerima pensiun berkala yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya pensiun, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto,
setinggi-tingginya Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp
2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.
|
(5) |
Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c selain tenaga ahli memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26:
|
| |
(6) |
Dalam hal jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau
klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang
dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong
biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau
klinik.
|
Pasal 11
(1) |
besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut :
|
| |
(2) |
PTKP per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)
huruf c adalah PTKP per tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi 12 (dua
belas), sebesar :
|
| |
(3) |
Besarnya PTKP bagi karyawati berlaku ketentuan sebagai
berikut:
|
| |
(4) |
Dalam hal karyawati kawin dapat menunjukan keterangan tertulis
dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan
suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP
untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk keluarga
yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
|
(5) |
Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun
kalender.
|
(6) |
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam
bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian
tahun kalender yang bersangkutan.
|
Pasal 12
(1) |
Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas yang tidak di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu)
bulan kalender belum melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
ribu rupiah), berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
| |
(2) |
Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari
kerja yang digunakan.
|
(3) |
Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan
kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender melebihi Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga
ratus dua puluh ribu rupiah) , maka jumlah yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
|
(4) |
PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
|
(5) |
PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya
adalah sebesar PTKP per tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
|
(6) |
Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan
diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja
lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan
hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak
tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan
penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
|
Pasal 13
(1) |
Penerima penghasilan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP
sepanjang yang bersangkutan telah mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan hanya
memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
|
(2) |
Untuk dapat memperoleh pengurangan berupa PTKP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penerima penghasilan bukan pegawai harus menyerahkan
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dan bagi wanita kawin harus menyerahkan
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami serta fotokopi surat nikah dan
kartu keluarga.
|
BAB VI
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENERAPANNYA
Pasal 14
(1) |
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari :
|
| |
(2) |
Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa
pajak, kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan
yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai
berikut:
|
| |
(3) |
Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
|
| |
(4) |
Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif
terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah bulan Januari,
termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya
bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau faktor
pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam
tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.
|
(5) |
Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak
terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh
penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak
dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada masa-masa sebelumnya dalam tahun
pajak yang bersangkutan.
|
(6) |
Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya
meliputi bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak yang
disetahunkan, sebanding dengan jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang
bersangkutan.
|
(7) |
Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember
dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang
bersangkutan lebih besar dari PPh pasal 21 yang terutang untuk 1 (satu) tahun
pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dikembalikan
kepada pegawai tetap yang bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti
pemotongan PPh Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti
bekerja.
|
(8) |
Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibulatkan ke bawah sehingga
|
Pasal 15
(1) |
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak
tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan,
upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan
secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas:
|
| |
(2) |
Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan
kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah), PPh Pasal 21
dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang
disetahunkan.
|
Pasal 16
(1) |
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan diterapkan atas jumlah kumulatif dari:
|
| |
(2) |
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan diterapkan atas :
|
|
Pasal 17
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pejabat negara, pegawai negeri
sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, serta para pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai hal dimaksud.
Pasal 18
Pengenaan PPh Pasal 21 bagi pegawai atas uang pesangon, uang
manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan
secara sekaligus, diatur berdasarkan ketentuan yang ditetapkan khusus mengenai
hal dimaksud.
Pasal 19
(1) |
Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat
final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai
imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
dengan status Subjek Pajak luar negeri dengan memperhatikan ketentuan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia
dengan negara domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut.
|
(2) |
PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat
final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah
status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
|
BAB VII
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA
PENGHASILAN YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
TARIF PEMOTONGAN PPh PASAL 21 BAGI PENERIMA
PENGHASILAN YANG TIDAK MEMPUNYAI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK
Pasal 20
(1) |
Bagi Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif
lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
(2) |
Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh
Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak.
|
(3) |
Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak
final.
|
(4) |
Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai
penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih
tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama
sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang
telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih
tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk
bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak.
|
BAB VIII
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
SAAT TERUTANG PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
Pasal 21
(1) |
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Penerima
Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya
penghasilan yang bersangkutan.
|
(2) |
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 terutang bagi Pemotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap masa pajak.
|
(3) |
Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan
terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
|
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU
PASAL 26 SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 DAN/ATAU
PASAL 26 SERTA PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
Pasal 22
(1) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor
Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
(2) |
Pegawai, Penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat
pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau
pada saat mulai menjadi Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP
dan wajib menyerahkannya kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 pada
saat mulai bekerja atau mulai pensiun.
|
(3) |
Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga bagi pegawai,
penerima pensiun berkala dan bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf a angka 4 wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya
kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 paling lama sebelum mulai
tahun kalender berikutnya.
|
(4) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung,
memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang
terutang untuk setiap bulan kalender.
|
(5) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat
catatan atau kertas kerja perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk
masing-masing penerima penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap masa pajak dan wajib menyimpan
catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
|
(6) |
Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap bulan kalender sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada bulan
yang bersangkutan nihil.
|
(7) |
Dalam hal dalam suatu bulan terjadi kelebihan penyetoran pajak
atas PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang, oleh Pemotong PPh Pasal
21 dan/atau PPh Pasal 26, kelebihan penyetoran tersebut dapat diperhitungkan
dengan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya
melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26.
|
Pasal 23
(1) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan
bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
pegawai tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah
tahun kalender berakhir.
|
(2) |
Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan
Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti
bekerja.
|
(3) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan
bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap
dan penerima pensiun berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta bukti
pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26.
|
(4) |
Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima
penghasilan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti
pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
|
(5) |
Bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26
ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
tersendiri.
|
Pasal 24
(1) |
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong
PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke
Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10
(sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
|
(2) |
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib melaporkan
pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 untuk setiap Masa
Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa
Pajak berakhir.
|
(3) |
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan batas waktu pelaporan PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertepatan
dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan
pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
|
Pasal 25
(1) |
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi
penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang
bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
|
(2) |
Jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas selisih penerapan tarif
sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi bagi pegawai tetap atau penerima
pensiun berkala sebelum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah
diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang untuk bulan-bulan selanjutnya pada
tahun kalender berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) tidak
termasuk kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(3) |
Dalam hal Wajib Pajak yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan
tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak maka PPh Pasal 21
yang telah dipotong tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
|
(4) |
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menyatakan
jumlah lebih bayar maka penyampaiannya harus dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan.
|
(5) |
Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
menyatakan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan
setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan dan
Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, tidak dianggap sebagai Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
|
Pasal 26
Petunjuk Umum dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 28
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di JakartaPada tanggal 25 Mei 2009
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
Lampiran
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-31/PJ/2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-31/PJ/2009
PETUNJUK UMUM DAN CONTOH PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
BAGIAN PERTAMA : PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh
PASAL 26PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
-
PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN BERKALAPenghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
-
Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21, selain masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja;
-
Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember atau masa pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.
Penghitungan kembali ini dilakukan pada :-
Bulan dimana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;
-
bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun kalender dan bagi penerima pensiun yang menerima uang pensiun sampai akhir tahun kalender.
-
I.1. Penghitungan Masa atau Bulanan Selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja : - Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur
- Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur
I.1.a Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur I.1.a.1 Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi Pegawai Tetap : 1. -
Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.
-
Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Premi Jaminan Kematian (JK) dan Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehataan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai
-
Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua, dan/atau Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan Penyelenggara Program Jamsostek.
2. -
Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12
-
Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan penghasilan neto setahun dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember.
-
Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu sebesar Penghasilan neto setahun pada huruf a atau b diatas, dikurangi dengan PTKP.
-
Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c, selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar :
1) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dibagi dengan 12; atau2) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf b dibagi banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada huruf b.
3. -
Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut :
1) Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4, 2) Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26. -
Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan dengan cara seperti dalam angka 2 di atas.
-
PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 4, sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf b dibagi 26.
4. Jika kepada pegawai disamping dibayar gaji bulanan juga dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas rapel tersebut adalah sebagai berikut :-
rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel tersebut (dalam hal ini 5 bulan);
-
hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;
-
PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah ada kenaikan;
-
PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana disebut pada huruf b.
5. Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang didasarkan masa gaji kurang dari satu bulan juga dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan (rapel) seperti tersebut dalam angka 4, maka cara penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam angka 4 dengan memperhatikan ketentuan dalam angka 3.I.1.a.2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi Penerima Pensiun Berkala : 1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun pertama pensiun adalah sebagai berikut :-
terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember;
-
penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada huruf a ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
-
untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah penghasilan pada huruf b tersebut dikurangi dengan PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan Kena Pajak tersebut;
-
PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh Pasal 21 dalam huruf c dengan PPh Pasal 21 yang terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;
-
PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam huruf d dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan untuk tahun kedua dan selanjutnya adalah sebagai berikut :-
terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiun;
-
selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara penghitungan untuk pegawai tetap pada butir I.1.a.1 angka 2 huruf a, c, dan d.
I.1.b Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur bagi Pegawai Tetap 1. Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut :-
dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
-
dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
-
selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
2. Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun baru mulai bekerja setelah bulan Januari, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan yang tidak teratur tersebut dihitung dengan cara sebagaimana pada butir 1 dengan memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21 Bulanan atas Penghasilan Teratur pada butir I.1.a.1. angka 2 huruf b, c dan d diatas.I.2. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Bulan Desember atau Masa Pajak Tertentu untuk Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja Sebelum Bulan Desember -
Pemotong pajak harus melakukan penghitungan kembali besarnya PPh Pasal 21 yang terutang :
-
Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, baik penghasilan yang teratur maupun yang tidak teratur.
-
PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkuta, sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
-
Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai dengan bulan sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang bersangkutan, pemotong pajak dapat memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan pegawai tetap lainnya dalam masa pajak yag sama, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh pemotong pajak untuk masa pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh pemotong pajak kepada pegawai tetap yang bekerja. 2.
-
-
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a adalah sebagai berikut :
-
Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada sejak awal tahun, namun mulai bekerja setelah bulan Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.
-
Sedangkan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.
-
-
- PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 UNTUK PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU
TENAGA KERJA LEPAS
II.1. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan : -
Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari :
-
Upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu;
-
Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
-
Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
-
-
Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
-
Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang harian telah melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%.
-
Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000,00 dan kurang dari Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.
-
Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
II.2. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan :
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah upah bruto yang yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12. -
-
PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ANGGOTA DEWAN PENGAWAS ATAU DEWAN KOMISARIS YANG TIDAK MERANGKAP SEBAGAI PEGAWAI TETAP, MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA JASA PRODIKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI, BONUS ATAU IMBALAN LAIN YANG BERSIFAT TIDAK TERATUR, DAN PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI PEGAWAI YANG MENARIK DANA PENSIUN
III.1. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Anggota Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris Yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap
PPh Pasal 21 dihitung dengan menarapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.III.2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan Pegawai Yang Menerima Penghasilan Berupa Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus atau Imbalan Lain yang Bersifat Tidak Teratur
PPh Pasal 21 dihitung dengan cara menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender.III.3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Peserta Program Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai yang Menarik Dana Pensiun
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari kumulatif jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun kalender. - PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS
SEBAGAI BUKAN PEGAWAI
IV.1 Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Tenaga Ahli yang melakukan Pekerjaan Bebas
PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dihitung dengan cara menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan atau terutang dalam 1 (satu) tahun kalender. Dalam hal tenaga ahli tersebut adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.IV.2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, Selain Tenaga Ahli, atas Imbalan yang Bersifat Berkesinambungan IV.2.1 Bagi yang Telah Memiliki NPWP dan Hanya Menerima Penghasilan Dari Pemotong Pajak yang Bersangkutan
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak. Besarnya pengasilan kena pajak adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.IV.2.2 Bagi yang Tidak Memiliki NPWP atau Menerima Penghasilan Dari Selain Pemotong Pajak yang Bersangkutan
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.IV.3 Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, Selain Tenaga Ahli, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto. - PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI PESERTA KEGIATAN
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan. - PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS
SEBAGAI SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI.
- Dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah dari jumlah penghasilan bruto.
- Dikenakan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), dalam hal orang pribadi yang menerima penghasilan adalah subjek pajak dalam negeri dari negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia.
I. | PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PENGHASILAN PEGAWAI TETAP | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
I.6 | PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI
YANG BERHENTI BEKERJA ATAU MULAI BEKERJA DALAM TAHUN BERJALAN
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.7 | PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG
SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DIPEROLEH DALAM MATA UANG ASING Neill Mc Leary adalah seorang karyawan memperoleh gaji pada bulan Januari 2009 dalam mata uang asing sebesar US$ 2,000 sebulan. Kurs yang berlaku untuk bulan Januari 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan adalah Rp 11.250,00 per US$ 1.00. Neill Mc Leary berstatus menikah dengan 1 anak.
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.8 | PPh PASAL 21 SELURUH ATAU SEBAGIAN DITANGGUNG OLEH PEMBERI
KERJA Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai ditanggung oleh pemberi kerja, pajak yang ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam pengertian kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan. Arip Mulyana adalah seorang pegawai dari PT Lautan Otomata dengan status menikah dan mempunyai 3 orang anak. Dia menerima gaji Rp 4.000.000,00 sebulan dan PPh ditanggung oleh pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 150.000,00
Namun apabila pemberi kerja adalah bukan Wajib Pajak selain pemerintah atau Wajib Pajak yang pengenaan pajaknya berdasarkan PPh Final atau berdasarkan norma penghitungan khusus (demeed profit), maka kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan, dan penghitungan pajaknya dilakukan sesuai contoh Nomor I.9. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.9 | PENGHITUNGAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 TERHADAP PEGAWAI TETAP
YANG MENERIMA TUNJANGAN PAJAK Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan pajak, maka tunjangan pajak tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya. Contoh penghitungan : Peri Irawan (status kawin dengan 3 orang anak) bekerja pada PT Kartika Kawashima Pionirindo dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.500.000,00 sebulan. Kepada Peri Irawan diberikan tunjangan pajak sebesar Rp 25.000,00. Iuran pensiun yang dibayar oleh Priyo adalah sebesar Rp 25.000,00 sebulan.
Apabila selisih sebesar Rp5.688,00 tersebut ditanggung oleh pemberi kerja/pemotong pajak maka jumlah tersebut bukan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak pemberi kerja/pemotong pajak. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.10 | PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS PENERIMAAN DALAM BENTUK NATURA
DAN KENIKMATAN LAINNYA YANG DIBERIKAN OLEH WAJIB PAJAK YANG PENGENAAN PAJAK
PENGHASILANNYA BERSIFAT FINAL ATAU BERDASARKAN NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS (DEEMED
PROFIT) Qalbun Junaidi adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing yang pengenaan pajaknya menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit), memperoleh gaji sebesar Rp 1.500.000,00 sebulan beserta beras 30 kg dan gula 10 kg. Qalbun Junaidi berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari beras dan gula dihitung berdasarkan harga pasar yaitu : Harga beras : Rp 10.000,00 per kg. Harga Gula : Rp 8.000,00 per kg.
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.11 | Perhitungan PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Tetap yang Baru Memiliki
NPWP pada Tahun Berjalan Wahyu Santosa, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan keluarga, bekerja pada PT Fajar Sejahtera dengan memperoleh gaji dan tunjangan setiap bulan sebesar Rp 5.500.000,00, dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan sebesar Rp 200.000,00. Wahyu Santosa baru memiliki NPWP pada bulan Juni 2009 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada PT Fajar Sejahtera untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan Juni. Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan Januari - Mei 2009 adalah sebagai berikut :
120% X Rp 185.250,00 = Rp 222.300,00
Perhitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2009, dimana Wahyu Santoso sudah memiliki NPWP pada akhir bulan November 2009 sebelum pemotongan PPh Pasal 21 bulan Desember 2009 adalah sebagai berikut :
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.12 | Penghitungan PPh Pasal 21 Yang Harus Dipotong Pada Masa Pajak
Terakhir, yaitu :
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II | PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 ATAS UANG PENSIUN YANG DIBAYARKAN SECARA BERKALA (BULANAN) | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.1 | Penghitungan PPh Pasal 21 Pada Tahun Pertama Dibayarkannya Uang
Pensiun Secara Bulanan
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.2 | Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Pembayaran Uang Pensiun Secara
Bulanan Pada Tahun Kedua dan Seterusnya. Dengan menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan mulai Januari 2010 (tahun kedua yang bersangkutan pensiun) adalah sebagai berikut :
|
III. | PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG TEBUSAN
PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA ATAU JAMINAN HARI TUA YANG DITERIMA SEKALIGUS
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
IV. | PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS JASA PRODUKSI, TANTIEM, GRATIFIKASI YANG DITERIMA
MANTAN PEGAWAI, HONORARIUM KOMISARIS YANG BUKAN SEBAGAI PEGAWAI TETAP DAN
PENARIKAN DANA PENSIUN OLEH PESERTA PROGRAM PENSIUN YANG MASIH BERSTATUS SEBAGAI
PEGAWAI
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
V | PENGHITUNGAN
PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA OLEH BUKAN PEGAWAI.
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
VI. | PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA PESERTA
KEGIATAN. Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Taufik Aprianto adalah seorang pemain bulutangkis professional yang bertempat tinggal di Indonesia. Ia menjuarai turnamen Indonesia Terbuka dan memperoleh hadiah sebesar Rp 200.000.000,00. PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen Indonesia Terbuka tersebut adalah: 5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp 150.000.000,00 = Rp 22.500.000,00 Rp 25.000.000,00 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
VII. | PENGHITUNGAN
PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS PENGHASILAN PEGAWAI DENGAN STATUS WAJIB PAJAK LUAR
NEGERI YANG MEMPEROLEH GAJI SEBAGIAN ATAU SELURUHNYA DALAM MATA UANG
ASING
Contoh: William Bentley adalah pegawai asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari. Dia berstatus menikah dan mempunyai 2 orang anak. Ia memperoleh gaji pada bulan Maret 2009 sebesar US$ 2,500 sebulan. Kurs Menteri Keuangan pada saat pemotongan adalah Rp 11.500,00 untuk US$ 1.00 Penghitungan PPh Pasal 26: Penghasilan bruto berupa gaji sebulan adalah: US$ 2,500 x Rp 11.500,00 = Rp 28.750.000,00 PPh Pasal 26 terutang adalah: 20% x Rp 28.750.000,00 = Rp 5.750.000,00 |
ttd.
DARMIN NASUTION
NIP 130605098
No comments:
Post a Comment